"Bahwa ada yang bilang kita ini turunan monyet, turunan dewa, turunan setan sekalipun. Buatku bukan menjadi alasan untuk bermusuhan. Apalagi saling membunuh"
–Iwan Fals–
Tiga tahun yang lalu orangtua angkatnya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Ali – yang saat itu baru saja lulus dari sebuah perguruan tinggi di Semarang langsung saja pulang ke desa tempat orangtuanya tinggal lalu mengurus segala urusan pemakaman kedua orang yang sudah membesarkannya itu. Kedua pasangan itu memiliki seorang putri angkat pula – namun gadis itu tampak tidak terlalu peduli dengan urusan pemakaman. Hal yang berkali-kali ia tanyakan pada Ali justru : “Apa Bapak dan Ibu sudah menulis surat wasiat?”
Saat itu Ali hanya bisa menjawab, “Mbak, tunggu sampai upacara kremasi selesai baru kita bicarakan soal itu.”
Pengacara yang ditunjuk ayah dan ibu angkatnya datang dua hari setelah upacara pemakaman, membawa kabar bahwa orangtuanya membagi seluruh harta mereka menjadi dua sama rata pada Ali dan saudari angkatnya – Idayu. Idayu menyarankan agar semua harta warisan orangtua mereka dijual saja dan uangnya dibagi dua tapi Ali menolak menjual bagiannya, terlebih rumah warisan orangtuanya. Idayu sendiri menjual semua bagiannya kepada sebuah developer villa dengan harga yang lumayan tinggi – dan itulah awal mula semua masalah ini.
Seorang kaya dari kota yang kebetulan mendirikan villa di tempat ini menyadari potensi bahan tambang di desa ini yang tampaknya luput dari perhatian pemerintah. Dengan bernafsu pria – yang menurut Ali sudah hampir masuk liang kubur – itu berkali-kali mengirimkan orang untuk membujuk kepala desa agar menyetujui pembangunan area pertambangan. Kepala desa sebelum ini adalah orang yang suka main wanita dan punya banyak istri simpanan. Kontan saja ia menyetujui, namun Ali dan sejumlah tokoh masyarakat saat itu menyadari bahwa area pertambangan akan merusak lingkungan desa ini sehingga mereka melakukan demonstrasi.
Rencana pembangunan itu akhirnya berhasil dicegah, kepala desa yang lama pun akhirnya memasuki usia pensiun dan kepala desa baru diangkat. Ia adalah seorang yang idealis – meski sedikit kaku dan pemalu. Beberapa kali perwakilan perusahaan pertambangan itu datang untuk menegosiasikan soal bukit yang akan menjadi tambang nikel itu namun berkali-kali pula kepala desa itu menolak. Sampai sejumlah teror mulai terjadi.
Beberapa hewan ternak ditemukan mati tertembak atau tersengat listrik tegangan tinggi. Muncul ancaman berupa surat kaleng yang ditulis dalam keping pesan holografik di beberapa rumah tokoh masyarakat setempat, dan kadang disertai pula dengan bangkai kucing yang termutilasi tergeletak di depan rumah masing-masing tokoh itu. Mereka mulai gentar, tapi Ali dan beberapa pemuda desa berhasil meyakinkan mereka bahwa ancaman seperti itu tak perlu dihiraukan.
Ya, begitulah pemikiran Ali dan para pemuda desa sampai terjadi penyerbuan di rumahnya tempo hari. Ali baru sadar bahwa pola pikir pengusaha-pengusaha kota mulai ‘tidak waras’. Krisis ekonomi yang melanda negeri ini pada tahun 1998, 2007, 2012, 2048, 2077, hingga 2111 benar-benar membuat beberapa pengusaha tak lagi punya hati nurani.
“Ketakutan menguasai mereka, Li. Mereka takut miskin, mereka takut anak-anak mereka nanti tidak bisa naik mobil, tidak bisa keluar negeri. Mereka juga takut istri-istri mereka akan berpaling ke pria lain yang lebih mapan. Tapi mereka lebih takut lagi pada diri mereka sendiri, sebab setelah sekian lama bergelimang dalam kenikmatan, sedikit torehan penderitaan saja akan terasa menyakitkan,” begitu jawaban Janggala saat Ali menanyakan alasan apa yang melatarbelakangitindakan orang-orang itu. Janggala memang bukan lagi ‘orang baik-baik’ tapi Ali tetap menganggap pemuda itu sahabat baiknya – sepanjang hayat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Awatara II : Anak-Anak Arjuna
Science FictionMahesa Werdaya, atlet panahan muda dari kota Surakarta, harus memenuhi panggilan kompetisi KONI untuk mengikuti Olimpiade di Vancouver, Kanada, mewakili Indonesia. Namun situasi politik dan keamanan Indonesia yang kacau akibat ancaman dari Laskar Pr...