Kasih Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
– Syair Lagu ‘Kasih Ibu’ –
Dugaan Putra ternyata tepat. Sejumlah prajurit TNI meminta waktu tiga hari ke depan untuk melatih para calon kontingen olimpiade menembak. Alasannya : untuk mempertahankan diri jikalau Laskar Pralaya menembus lapis pertahanan prajurit TNI. Mempersenjatai para atlet akan membuat peluang mereka meloloskan diri dari Laskar Pralaya menjadi semakin besar.
Para atlet mulai ciut nyalinya begitu disuruh memegang senjata api tersebut. Beberapa dari mereka begitu ketakutannya sampai akhirnya mengumumkan akan mengundurkan diri dari Pelatnas. Kemenpora dan Komite Olahraga tak bisa berbuat banyak. Nyaris separuh atlet memilih untuk mengundurkan diri dan pulang. Bujukan yang dilontarkan oleh para petinggi Kemenpora tak mampu membendung keinginan mereka.
“Kami tidak ingin mati!” begitu seorang dari mereka berujar, “Jika TNI sampai meminta kami membawa senjata api itu artinya TNI tidak percaya diri dengan kemampuannnya. Itu artinya mereka tidak sanggup melindungi kami semua. Itu artinya Laskar Pralaya punya ancaman serius yang ditujukan pada kami? Ya kan?”
Para atlet itu mulai histeris. Beberapa langsung menghubungi orangtua mereka dan minta dijemput. Menyaksikan kondisinya semakin kacau, pihak panitia membubarkan pertemuan itu dan meminta para atlet menenangkan diri.
“Ini semua gila!” gerutu Putra ketika mereka bertiga sudah kembali ke kamar mereka, “Membawa tazer gun – pistol kejut – mungkin masih masuk akal, tapi senjata api?”
“Aku setuju,” Bayu menimpali, “itu sinting tapi ... sesinting apapun ini, apa kita masih bisa kembali? Kita sudah sejauh ini lho, teman-teman.”
Mahesa merenung sejenak, kembali memikirkan ibunya. Pemuda itu kini mengerti apa yang sebenarnya dikhawatirkan oleh ibunya. Ya, ibunya mengkhawatirkan datangnya saat-saat seperti ini. Saat-saat di mana Laskar Pralaya semakin mengganas dan membuat institusi sekelas TNI pun gentar. Jika TNI sudah gentar, tak ada lagi jaminan keselamatan bagi dirinya dan kawan-kawannya. Tapi kata-kata Bayu ada benarnya juga. Ia sudah sampai sejauh ini. Masakan ia harus menyerah dan pulang begitu saja?
Ketiga pemuda itu termenung sesaaat memikirkan pilihan yang akan mereka ambil. Namun ketermenungan itu segera berakhir ketika arloji komunikasi Bayu berbunyi nyaring. “Halo?” Bayu menerima panggilan itu.
“Bayu Sutawijaya, anda mendapatkan kunjungan. Perwakilan dari keluarga anda. Harap menuju lounge room sekarang juga.”
“Kunjungan?” Bayu melirik kedua teman sekamarnya dengan nada penuh selidik, “Orangtua dan keluarga kita tidak tahu lokasi ini kan? Kecuali ayahnya Putra?”
“Nah,” Mahesa angkat bahu, “aku tidak tahu sih. Kamu juga nggak pernah cerita siapa orangtuamu kan?”
“Putra, kamu bisa temani aku kan? Ke bawah?” pinta Bayu. Mahesa cukup terkejut juga melihat Bayu sampai minta tolong seperti ini.
“Wah maaf Yu, aku harus menelepon ayahku. Mahesa saja yang temani kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Awatara II : Anak-Anak Arjuna
Science FictionMahesa Werdaya, atlet panahan muda dari kota Surakarta, harus memenuhi panggilan kompetisi KONI untuk mengikuti Olimpiade di Vancouver, Kanada, mewakili Indonesia. Namun situasi politik dan keamanan Indonesia yang kacau akibat ancaman dari Laskar Pr...