Resort Sentosa Island, Singapura, 09.00 waktu setempat.
Wijayadi Saputra tampak menikmati segelas koktail dingin yang baru saja disajikan oleh seorang pelayan restoran bersama sekumpulan hidangan lainnya.
“Please enjoy your drink and your meal, Sir,” ucap pelayan itu dalam bahasa Inggris.
“Thank you,” balas Jaya sembari melirik ke arah kolam renang di mana ibu dan adik perempuannya masih tampak berenang, sementara di sisi kolam tampak ayahnya, Sang Wapres, tengah berbincang serius dengan sejumlah pengawal sebelum beranjak mendekat ke arah meja tempat putranya duduk.
“Urusan negara lagi?”
Sang Wapres mengangguk lalu mengalihkan topik pembicaraan, “Sudah lama ya, kita tidak berkumpul seperti ini?”
“Kalau kita keluarga normal, pasti hal ini akan lebih sering terjadi,” ujar Jaya agak ketus.
“Jaya,” ayahnya berdehem, “ayah minta maf bahwa kesibukan ayah memang menyita sebagian besar waktu ayah bersama kalian. Tapi kamu juga harus paham bahwa ayah sedang melakukan sesuatu yang besar. Untuk mewariskan sesuatu yang kelak dapat kamu dan adikmu banggakan.”
Jaya melirik ke arah ayahnya dengan tatapan tidak suka, namun ayahnya segera melanjutkan kata-katanya, “Ayah harus membangun Indonesia, Presiden butuh banyak bantuan ayah, dan kelak ayah harus mempersiapkan diri memimpin 300 juta rakyat Indonesia yang masing-masing butuh ‘dipuaskan’ kebutuhannya.”
“Hei Yah, untuk apa bersusah payah mencapai posisi ini? Sampai kapan Ayah mau direpotkan oleh sekumpulan orang-orang tak tahu terima kasih itu?”
Sang Wapres hanya tersenyum saja mendengar perkataan putranya itu, “Nak, akan ada waktunya nanti mereka akan berterimakasih pada kita.”
“Kupingku panas tiap kali menonton berita dan mataku merah tiap kali aku membaca koran.”
“Nah, itulah sebabnya ...,” Sang Wapres menyesap seteguk es jeruk dari gelasnya, “ayah membawa kalian kemari. Keluar dari Indonesia, keluar sejenak dari hiruk-pikuk dan kegaduhan politik yang ada di sana.”
Jaya menghela nafas lalu diam sejenak sebelum berkomentar soal hal lain, “Resort ini indah, bagus, mewah, dan memukau. Sepertinya kita bisa bangun kawasan semacam ini di Lombok.”
“Ah, rupanya kau sudah mulai menaruh minat soal mengelola usaha keluarga kita ya? Bagus! Bagus! Tapi ... kenapa Lombok? Manado juga bisa dibuat kawasan seperti ini.”
“Taman Laut Bunaken bisa rusak kalau kita buat kawasan sebesar ini, Yah.”
“Masa? Bukankah ada protokol keamanan lingkungan yang sudah kita pakai sejak lama?”
“Eh? Masa?”
“Tentu, kalau kau mau tahu detailnya,” Sang Wapres mengambil sebuah benda logam berbentuk lingkaran berdiameter 5 cm dan mengaktifkannya sehingga sekumpulan layar holografik muncul, “Ayah bawa buku protokol lengkapnya di terradisk ini, plus undang-undang lingkungan hidup, dan keputusan presiden dan ... .”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Awatara II : Anak-Anak Arjuna
Science FictionMahesa Werdaya, atlet panahan muda dari kota Surakarta, harus memenuhi panggilan kompetisi KONI untuk mengikuti Olimpiade di Vancouver, Kanada, mewakili Indonesia. Namun situasi politik dan keamanan Indonesia yang kacau akibat ancaman dari Laskar Pr...