Markas Dakara, Jakarta, 01.00 WIB
Syailendra jadi terpaksa berjaga semalaman untuk terus mengontrol pergerakan Markus-Kartika serta Bayu-Mahesa. Kabar buruk yang ia terima dari Narada – sang utusan kahyangan – benar-benar membuat dirinya harus terus berjaga. Selain itu ia juga mendapati bahwa tim Srikandi – Nakula – Sadewa yang ia kirimkan ke Belanda beberapa hari yang lalu mungkin baru bisa kembali besok pagi. Segala rencananya terlambat dari jadwal yang seharusnya.
Monitor-monitor di ruang kontrol masih terus menampilkan aneka citra mulai dari citra satelit Kanada, Sulawesi, Sumatra, dan banyak tempat lainnya. Semua yang ditampilkan di layar-layar itu mulai membuat kepala Syailendra pening karena Sang Presiden RI membebani Dakara sejumlah target kerja yang agak mustahil untuk mereka selesaikan dalam jangka waktu singkat.
Presiden memberinya tugas bagi Dakara untuk turut membantu melacak keberadaan pemimpin-pemimpin Laskar Pralaya menggunakan segala sumberdaya mereka. Syailendra sudah menggunakan para Penerawang – kelompok anggota Dakara yang memiliki kemampuan lebih dalam hal meramal dan melihat tempat-tempat yang jauh dengan atau tanpa bantuan media-media tertentu. Ia juga menurunkan sejumlah agen lapangan untuk turut serta dalam Operasi BIN. Tapi semua ini membuatnya jadi kekurangan orang untuk mengatasi sebuah ancaman yang lebih besar.
Syailendra menghela nafas sejenak sebelum duduk di sebuah sofa sambil terus menatapi layar-layar monitor. Seorang staff kemudian menghampirinya sambil menggenggam dua layar holografik di tangannya.
“Ini informasi mengenai Junaedi Kartawijaya,” ujar staff tersebut.
“Terima kasih,” kata Syailendra sesaat setelah ia menerima layar itu.
Syailendra membaca sedikit soal Kartawijaya. Dari profil yang ia dapati, Kartawijaya merupakan seorang arsitek istimewa. Ia lulusan terbaik ITB dalam bidang arsitektur, diterima bekerja di sebuah perusahaan konstruksi Jerman, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia dengan semangat menggebu untuk mengabdikan dirinya bagi kemajuan dunia arsitektur Indonesia.
Tapi idealisme tinggallah idealisme. Kartawijaya terjebak dalam situasi sulit. Ia terpaksa bekerja di sebuah perusahaan konstruksi yang dengan licik menempatkannya dalam posisi yang tidak menguntungkan. Kartawijaya terjebak dalam posisi Manajer tingkat menengah selama 5 tahun tanpa kesempatan promosi meski teman-teman sebayanya rata-rata sudah jadi Kepala Cabang atau direktur.
Sampai ketika Satyawati Corp merekrutnya dan memberinya posisi sebagai direktur di sebuah proyek menara pembersih polusi di Sumatra. Menara pembersih polusi adalah sebuah konstruksi menara setinggi 20 meter yang punya fungsi kurang lebih sama seperti pepohonan. Mereka menyerap CO2 dan menguraikannya menjadi karbon dan oksigen lalu melepaskan oksigen itu kembali ke udara dan mendaur ulang karbonnya menjadi briket untuk bahan bakar. Menara ini banyak dibangun untuk menggantikan fungsi hutan yang sudah banyak dibabat dan proyek menara seperti ini menuntut orang-orang yang benar-benar cakap untuk mengerjakannya. Kartawijaya adalah salah satu di antaranya namun sayang ia bekerja untuk perusahaan yang salah. Karena Satyawati Corp jelas-jelas terindikasi kuat menyokong Laskar Pralaya.
*****
Pekanbaru, Riau, 21.00 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Awatara II : Anak-Anak Arjuna
Science FictionMahesa Werdaya, atlet panahan muda dari kota Surakarta, harus memenuhi panggilan kompetisi KONI untuk mengikuti Olimpiade di Vancouver, Kanada, mewakili Indonesia. Namun situasi politik dan keamanan Indonesia yang kacau akibat ancaman dari Laskar Pr...