11. Suka

783 19 0
                                    


[11]


"sudah dok?"

Inu segera turun dari ranjang rumah sakit, hari ini jadwal chek up paru parunya yang ia rasa belakangan ini sering kumat yang menyebabkannya sering bolos kuliah. Inu duduk di depan dokter langgangannya sambil membenarkan pakaian.

"Gimana tadi, Dok?"

Dokter bernama Ifat Athaya itu adalah salah satu dokter termuda di rumah sakit ini, termasuk saudara dari Inu, umurnya selisih enam tahun dengan Inu. Sebelum menjawab pasiennya ia menyenderkan punggungnya di kursi kerja "biasa aja manggilnya. Jangan alay."

"Ya, lo emang Dokter kan?"

"Iyalah."

"Jadi intinya ini penyakit gue gimana, Pak dokter?" Ucap Inu ssambil menekan kata 'pak Dokter' dalam ucapannya.

Mendesah, lalu berujar "Lo tuh kebanyakan begadang Nu, jarang olahraga deh kayanya, makanannya di jaga, lo kalo terus-terusan ngerokok apalagi coba minuman gelo hancur tuh paru-paru."

"Anjir, gue ngerokok cuma kalo lagi pengen doang. Apalagi minum? Ya sih pernah satu kali, cuma pas ulang tahun temen gue, abis itu udah."

"Sekali ngerasain nanti ketagihan Nu."

"Iya-iya maaf deh, nanti gue sempetin olahraga lah."

"Ya jangan di sempetinlah, di wajibin kalo bisa, main futsal kek, lari pagi kek."

"Lo lebih bawel dari emak gue ye?"

"Ya terserah sih, kalo lo mau sembuh itu juga."

Inu memutar bola matanya jengah.

Dokter Ifat bangun dari kursi kebesarannya dan pergi meninggalkan Inu sendiri di ruang kerjanya yang sepi karna jam istirahat belum habis.
kedekatan Inu dan dokter Ifat selalu seperti ini  walau jarang bertemu, karna dokter ifat yang selalu dinas di berbagai daerah yang berbeda beda. dokter muda berusia 30 tahun ini, ada hubungan saudara dengan Inu yang sama sama cucu dari Drs.H Indra Bahtiar yang mempunyai rumah sakit terbesar di Jakarta.

"Eh lu mau kemana?" Teriak Inu memutar kepalanya menatap Ifat yang mencopot charger handphone-nya.

"Apa sih, lo ah. Manja."

"Ye, gue mau bayar, Sutet."

"Halah biasanya juga kagak."

Inu tertawa, jika mengingat kelakuan songgongnya Ia merasa lucu sendiri, ia bersyukur punya saudara Dokter kaya Ifat begini, setiap ada keluhan di bagian tubuhnya, dengan bangga Inu mencari Ifat dan menemuinya, lalu menyuruh dia untuk mengecek kondisinya setelah itu dia dengan tenang malah pergi  tidak membayar administrasinya apalagi kalau bertemu kakeknya ia akan meminta uang dengan alesan 'beli obat di suruh Ifat'.

"Pantes penyakit lo kagak sembuh-sembuh." Ucap dokter Ifat, ia meraih kenop pintu lalu pandangannya beralih pada lelaki yang masih menyimpan tawanya. "Lo mau balik nggak nih? Ruangan gue mau di sterilkan."

"Sterilkan dari kuman maksud lo?"

"Iya kumannya lo."

"Kampret lu."

Inu mengekori Ifat, jalan berdampingan menuju kantin rumah sakit.

"Bang, lo kalo suka sama cewek gimana?"

Ifat menyipitkan alisnya dan melirik Inu yang berjalan di sampingnya. "Gue nggak salah denger? Harusnya pertanyaan itu buat diri lo sendiri, lo kan mahir soal cewek."

"Cewek yang gue taksir sekarang beda, bang."

"Bedanya? Dia jenggotan?"

"Bego. Nggak lah!" Inu terkekeh, lalu melanjutkan ucapannya dengan mendesah "dia orangnya kalo ngomong straight to point, frontal. Nggak suka basa basi, kalo ngomong tuh harus ada alesannya, nggak suka di gombalin anaknya, belum pernah pacaran juga. Jadi gue susah deketinnya, mana temen sendiri lagi."

"Mampus lu, terjebak dalam friendzone juga akhirnya."

"Ya habisnya gimana ya, perasaan nggak bisa di atur sendiri, kalo boleh milih, mending yang satunya yang pake jilbab, udah sholehah, sopan lagi anaknya."

"Iya udah lo kawinin aja."

"Maksud lo?"

"Ya katanya dia beda dari cewek kebanyakan, terus nggak mau pacaran, ya udah lo kawinin dia aja."

"Bukan nggak mau tapi nggak pernah pacaran, iya sih kanyanya dia yang nggak mau pacaran. gue sih mikirnya gitu, mau nikahin dia, tapi guenya juga belum kerja apalagi dapet penghasilan, nanti mau di kasih makan apa anak secantik dia?"

Ifat mengecek jam di ponselnya, lalu melirik Inu dari sudut retinanya "Yaudah, curcolnya sambil makan aja ya? Laper gue."

Sejurus kemudian, Inu berhenti memasamkan wajahnya, menyaksikan Ifat berjalan lebih dulu dengan menyimpan senyuman jahil "Ye, si badak, udah serius gini."


***

REVISI✔

SAHABAT HIJRAHKU [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang