PROLOG

1.2K 192 44
                                    

HEMBUSAN angin bisa dibilang cukup kencang di atas sini. Rambut perempuan itu saja sampai berserakan dan tak berbentuk. Tetapi, itu bukan masalah besar baginya. Hal itu terbukti dengan pandangannya yang masih fokus pada rentetan huruf di lembar buku yang sedang dibacanya. Ia melihat buku itu seolah hanya buku itu fokusnya di dunia.

"Hai, nggak usah apa baca buku di atas sini?" sapa seseorang di balik badannya. Perempuan itu mendengar, tapi dengan segala sifat barunya, dia mengacuhkannya dan memilih bersikap seperti baru saja tidak ada orang yang menyapanya. "Banyak angin loh, nggak takut cantiknya hilang di bawa angin?"

Perempuan itu tidak bergeming, menoleh pun tidak mau.

"Gue boleh kenalan, kan?" suara di di belakang berbunyi lagi. Si perempuan memejamkan mata, kesal karena rutinitas membacanya diganggu. "Nama gue, Revandra Alvin. Anak-anak satu sekolahan manggil gue Alvin."

Ternyata laki-laki, gumamnya pelan di dalam hati.

"Nama lo?" tanya laki-laki di depannya.

Berusaha menghargai usaha laki-laki tersebut, Sang perempuan menjawab, "Ade."

Alvin mengerutkan kening. "Ade? Nggak ada embel-embelnya? Ade-ku yang cantik, gitu? Ade-nya hati Abang, atau ..., eh seriusan nama lo cuma Ade?"

Perempuan mengangguk.

"Nggak ah. Nggak percaya kalau nama lo cuma Ade." Alvin menggaruk tengkuknya pertanda sedang kesusahan mencari akal. "Lo XI MIPA 3, kan? Pindahan baru dari Jakarta? Ayodong, jangan bikin gue mati penasaran. Siapa nama panjang lo?"

"Ade."

"Tuhan! Mau kenalan sama cewek cantik gini amat urusannya, ya?" Alvin menengadahkan tangannya ke atas lalu mendengus. "Nggak deh. Gue bakalan lompat sekarang juga kalau misalnya lo nggak ngasih tau nama panjang lo."

Lompat? Yang benar saja dia akan lompat hanya karena frustasi tidak bisa mengetahui nama panjang seseorang. Apa nama panjang itu begitu penting?

"Lompat aja," ujar perempuan tersebut.

"Oke, gue beneran bakal lompat dari rooftop sekolah kita yang ada di tingkat empat," kata Alvin mengambil ancang-ancang untuk segera mendekat ke pagar rooftop. Melihat tidak ada pencegahan sama sekali dari perempuan yang diketahuinya bernama Ade, Alvin menghela napas. "Lo nggak merasa bersalah gitu?"

Tepat saat Alvin selesai mengucapkan lima kata itu, Ade merasa bahwa jantungnya baru saja mencelos jatuh. Pertanyaan itu ... benar-benar membuat otaknya memutar kejadian di masa lalu.

"Ade Cahya Riana," ucapnya menyebutkan nama panjang.

Senyum lebar langsung menjalar di bibir Alvin. "Kalo gitu, gue bakal lebih senang manggil lo dengan Riana."

"Terserah," pupus Riana akhirnya. Ditutupnya buku yang ada di tangannya, lalu bersiap-siap turun ke kelasnya saat ini juga karena mood membacanya sudah hilang sejak cowok itu memberikan pertanyaan seperti tadi.

Lo nggak merasa bersalah gitu?

Dengan itu, Riana berlalu. Dia tahu bahwa berlama-lama berdekatan dengan cowok 'aneh' itu, semua yang baik-baik saja akan berubah jadi tidak baik-baik saja.

➰➰➰➰

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang