Isolate (M) : Melebihi Apapun

360 135 14
                                    

Isolate (M) : Melebihi Apapun

KURANG lebih seminggu, lukisan tentang gadis kecil dan hujan yang Riana buat belum kunjung selesai. Jadinya, cewek itu harus bersedia mengerjakan maraton lukisan itu.

Sayangnya, udara malam ketika selesai menyiapkan lukisan itu membuat Riana ingin sekali berjalan-jalan di tengah malam. Untuk itu, Riana berjalan mengendap-endap di rumah, membuka pintu apartemen perlahan-lahan, dan kabur.

Menuju tempat berdirinya sekarang.

Di tempat yang lumayan tinggi. Tempat yang memaparkan lampu-lampu kota.

Pindah ke Bandung dan melupakan semua yang ada di Jakarta, Riana memang suka mengusir bosan dengan cara seperti ini.

Terdengar tidak etis memang untuk seorang gadis perempuan, namun selama ini tidak mendatangkan apapun untuknya, Riana menikmatinya.

Terakhir kali dia ke sini, sekitar seminggu atau beberapa hari yang lalu. Ketika dia melihat sebuah mobil terparkir di halaman apartemen, dan Riana yakin mobil itu milik Putra. Si pelanggan setia Mamanya.

Hari itu, Riana tidak bisa menahan sakit. Dia sudah berulangkali mengingatkan Mamanya untuk berhenti, namun sikap yang ditunjukkan Mamanya tidak seperti orang yang ingin mengerti. Seolah Mamanya tidak menghargai apa yang Riana inginkan untuk Mamanya.

Riana sakit. Dan cara penyaluran sakit-sakit itu adalah dengan menyayat kulit lengannya. Karena dengan itu, setidaknya untuk sementara, rasa sakit yang dimilikinya teralih.

Tidak berapa lama, momen itu diganggu oleh Revan yang entah kenapa tiba-tiba datang. Menghancurkan semuanya. Membuat Riana lagi-lagi menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Revan.

Revan benar-benar datang entah dari mana malam itu.

“Jadi kunjungan tiap malam, ya?”

Riana terperanjat. Menghentikan lamunannya lalu menoleh ke samping.

“Oh, gue minta maaf. Gue ngagetin. Seharusnya gue ngucapin salam.” Revan tertawa garing sambil mengacak rambut-rambutnya. “Assalamualaikum Calonku.”

Selamat, karena sekarang Riana mengangkat alis.

“Calon?” Riana menggeleng tidak mengerti.

“Lo tiap malam ke sini?” tanya Revan, mengulangi pertanyaan yang tadi tidak dijawab Riana.

“Enggak juga.”

“Ini cuma kadang-kadang?” terlihat senyum merekah di bibir Revan. “Gue juga kadang-kadang ke sini. Kalo lagi bosen doang. Dan, lo ngelakuin hal yang sama? Kayaknya, kita jodoh.”

Lagi-lagi, Riana hanya bisa menaikkan sebelah alisnya lalu mengedikkan bahu.

“Waktu terakhir kali lo ke sini, dan pingsan setelah gue tanya beberapa hal … itu kenapa, Ri?”

Riana tahu hari yang dimaksud Revan, tetapi dibanding memberitahu cowok itu, Riana memilih berbohong. “Yang mana?”

“Yang … oke lo waktu itu ngelarang gue bahas ini, tapi karena gue masih penasaran dan nggak bisa nahan penasaran gue lagi, gue bakal nanya. Waktu lo ngelukain lengan lo?”

“Harus gue cerita?”

“Enggak juga.” Revan berjalan mendekati sebuah pagar yang berdiri di sepanjang jalan. “Lo baik-baik aja, kan?”

“Hm.” Riana mengangguk meyakinkan. “Lo?”

Entah atas dasar apa, Revan malah mengira pertanyaan Riana barusan menanyakan keadannya. “Gue amat sangat baik.”

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang