Isolate (R) : Redup yang Menerang

386 123 16
                                    

Isolate (R) : Redup yang Menerang

KAKI Riana sudah berulang kali bergerak kecil karena gelisah.
Bagaimana tidak? Sekarang, dia  dan Rian sedang ada di depan pintu apartemennya. Dua menit yang lalu, Rian baru saja mengetuk pintu.

“Yan—“

“Gue bakal tetep ketemu sama Nyokap lo. Terserah lo mau ngelarang gue atau enggak,” tukas Rian sebelum Riana memulai aksinya untuk menyuruh Rian segera pulang ke rumahnya.

Lengosan panjang terdengar dari mulut Riana.
Dari sekian banyak kejadian di hari ini, Riana tidak akan pernah menyangka bahwa aka nada salah seorang teman di sekolahnya yang berhasil menginjakkan kaki di kediamannya.

Apalagi orang itu Rian. Sangat tidak bisa dipercaya.

Bahkan, teman-teman lama Riana yang dekatnya sudah sedekat nadi belum pernah mengunjungi atau sekedar berjalan-jalan di daerah rumah Riana.

Bukan apa-apa, Riana hanya ingin menjaga rahasianya. Tidak tahu kenapa, tempat tinggalnya adalah tempat yang Riana harap tidak banyak orang tahu.

Pintu terbuka tidak berapa lama setelahnya. Tampak Yusnila dengan mata terkejutnya menoleh ke arah Riana dan cowok di sampingnya bergantian.

Assalamualaikum, Tante,” sapa Rian menundukkan kepala dan menyentuh tangan Mamanya.
Riana benar ingin berdecih saat itu. Riana saja lupa terakhir kali dia menyalami tangan Mamanya kapan.

Walaikumsalam Warahmatullah.” Yusnila masih belum bisa mengatasi keterkejutannya. “Ri? Kamu darimana aja?”

Riana memutar bola mata ketika Mamanya memandangnya. Riana tidak suka melihat mata memerah Mamanya. Mata itu membuat Riana melihat gambaran dirinya sekarang.

Tidak berdaya. Lemah. Dan tidak bisa menjaga komitmen.

“Ada tamu, Ma,” ucap Riana, dingin. Matanya sebisa mungkin dialihkan dari Mamanya.
Seperti baru tersadar, Yusnila berdeham. “Ya ampun Mama lupa. E-egh, ayo Nak. Masuk dulu ke dalam.”

Rian tersenyum pada Yusnila kemudian mengikuti Riana yang masuk ke dalam apartemennya.
Riana sempat merasa pusing begitu masuk. Ingatannya langsung berkelebatan menampilkan kejadian tadi malam. Riana menyapu pandangannya ke arah kursi ruang tamu. Bahkan di sana masih ada beberapa minuman yang Riana harap tidak akan Rian lihat.

“Jadi, siapa nama kamu, Nak?”
Sepertinya kata ‘tidak suka’ akan Riana ulang sepanjang hari ini. Terlebih melihat pandangan Mamanya pada Rian.

“Rian. Ade Zeroun Arrian,” jawab Rian lugas.

“Ada perlu apa ke sini?” nada itu terdengar ramah, bahkan Rian yang mendengarnya langsung didera rasa bersalah karena tidak membawa anak perempuan milik wanita ini.

“Saya mau bilang soal Riana yang nggak pulang tadi malam, Tante.” Rian melirik Riana yang sejak tadi menunduk lewat ekor mata.

Yusnila menepuk puncak kepala Riana yang ada di sampingnya. “Iya, dia emang nggak pulang tadi malam.”

“Jadi gini, tadi malam karena ada konser, saya ngajakin Riana buat nonton bareng. Nggak berdua doang kok Tante, ada temen kita yang namanya Defasya. Saya nggak bakal ngira bakal betah lama-lama di lapangan konser dan pulang kemalaman. Akhirnya, saya mutusin buat nganterin Riana pulang. Perasaan saya ke dia udah nggak enak kemarin, saya kayak punya kontak batin ke dia, gitu, Tan. Enggak tau kenapa, saya mutusin buat nyusulin dia. Terus tiba-tiba aja dia lari kayak ketakutan gitu.

“Saya tanyain, katanya dia lupa kalau kunci rumahnya ketinggal di tas sekolah dan apartemen udah dikunci sama Mama. Jadi, dia bingung mau pulang kemana. Tadinya saya mau ngecoba buat ngorek-ngorek kunci aja, cuman ngeliat Riana yang udah capek banget, saya suruh dia nginap di rumah Defasya aja. Pertamanya emang gitu, ternyata waktu mau ke rumah Defasya dia bilang kalau di rumah nggak ada orang dan saya takut ngebiarin cewek-cewek ini gitu aja. Yaudah, saya bawa ke rumah.”

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang