Isolate (A) : Revandra Alvin

911 169 62
                                    

Isolate (A) : Revandra Alvin

KELUAR dari kamarnya, Riana segera mencari sepatu miliknya lalu bergegas berangkat menuju sekolahnya. Setelah merasa dirinya sudah siap, Riana berdiri dari tempat duduknya, mencari kunci rumah kemudian keluar.

"RI! RI!" panggil seseorang dari dalam. Mamanya.

Riana berhenti berjalan.

"Hari ini berangkat bareng Mama aja, ya? Nggak usah jalan kaki," tawar wanita berkepala tiga itu pada Riana.

Riana menggeleng. "Nggak usah."

"Tapi, Ri. Kamu udah sering nolak ajakan Mama. Sekali-kali, apa salahnya kita bersikap layaknya ibu dan anak kebanyakan?" tambah Mamanya, Yusnila, sebagai usaha meyakinkan anaknya.

"Lain kali," tolak Riana, lagi. "Riana pergi dulu."

Setelah menyalami Yusnila, Riana berjalan menjauh dari apartemen milik Mamanya. Selalu seperti ini setiap pagi, Yusnila dengan tawaran berangkat bersama, lalu ada Riana dengan tolakannya. Dan berakhir, Yusnila yang menatap anaknya sedih, dan Riana yang tidak menggubrisnya sama sekali.

Untuk menempuh sekolah Riana, sebenarnya bisa dibilang cukup jauh dengan berjalan kaki melalui jalan umum. Untuk itu, kerap kali Riana berjalan melalui jalan pintas agar waktu tempuhnya ke sekolah bisa sekitar sepuluh menit lebih cepat dibanding biasanya.

Naik bus? Atau angkot?

Maaf, uang jajan Riana hanya cukup untuk ongkos pulang. Jangan berpikir bahwa Riana merupakan anak yang masih mengharapkan uang jajannya dari orang tua. Tidak, saat ini, Riana punya penghasilan sendiri untuk uang jajannya. Karena sejak dulu, Riana selalu tidak mau menerima uang dari Mamanya.

Riana tahu, meskipun Mamanya telah berhenti dari pekerjaan itu, uang yang diperoleh Mamanya sekarang sudah halal. Tetap saja, setiap akan mengambil uang yang diberikan Mamanya, Riana akan teringat bagaimana dulu, ia melihat Mamanya pulang tengah malam dengan kondisi badan yang mengeluarkan bau menyengat alkohol.

Untungnya, Mamanya sudah berhenti. Dan, untungnya lagi, Riana tinggal kembali di tempat orang-orang di sekitarnya tidak mengetahui bahwa, dulu, Mamanya adalah seorang pecun langganan pengusaha kaya.

Lupakan masalah itu sebentar, karena Riana sudah sampai di sekolahnya. Menaiki berbelas anak tangga untuk mencapai kelasnya. Keadaan sekolah barunya, SMA Cakrawala masih lengang karena hari masih cukup pagi.

"Ri! Riana!"

Riana hapal suara milik siapa itu. Maka, Ia menoleh memastikan praduganya benar atau salah.

"Wih, tumben banget lo dateng pagi," ucap cowok yang baru saja menghampiri Riana. Namanya, Rian. "Takut dikaduin sama si Wira lagi karena lo nggak piket?"

Riana tersenyum kecil. "Enggak."

"Terus karena apa?" tanya Rian, penasaran.

"Nggak tau," jawab Riana, mengedikkan bahu. Dia mendengus lega dalam hati begitu menyadari dia sudah berada di koridor IPA kelas sebelas. Itu artinya, jarak tempuhnya menuju kelas sudah semakin dekat.

"BANG RIAAAANNN!!!"

Oke, kalian harus terbiasa dengan sikap siswa-siswi SMA Cakrawala. Mereka memang lebih suka teriak. Mungkin, faktor inilah yang membuat mereka menang dalam kejuaraan paduan suara se-Indonesia.

"Ampun deh gue," desis Rian sambil menepuk keningnya.

Siswi yang memanggilnya tadi langsung melesat ke depannya. "Ada proposal yang perlu lo tanda tangan. Sayangnya, gue lupa bawa proposalnya ke sini. Proposalnya ketinggalan di ruang OSIS. Jadi, dengan amat sangat gue mohon, pergi ke ruangan OSIS pagi ini juga sama gue. Karena proposalnya mau dikumpulin pas Pak Kepala sekolah dateng."

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang