Isolate (L) : Laju Waktu

318 133 17
                                    

Isolate (L) : Laju Waktu

PENASARAN adalah alasan mengapa sekarang Riana berdiri di atas kasurnya, berusaha meraih beberapa kardus yang diletakkan di atas lemari, berhubung letaknya amat tinggi.

Dia berusaha mengambil beberapa kardus di atas sana, agar bisa menemukan ponselnya—yang kalau Riana tidak salah, terakhir kali dimainkan sekitar sebulan yang lalu. Saking lamanya ponsel itu tidak dijamah, Riana lupa meletakkannya di kardus yang mana.

Maka, dengan merelakan banyak energinya terbuang, Riana menurunkan satu-satu kardus itu dan memeriksanya.

“Ini karena Revan,” gerutu Riana sambil membuka satu persatu tutup kardus itu. “Kalo nggak karena dia, gue nggak penasaran.”

Cerita Ayni sepulang sekolah tadi masih bercokol di kepala Riana. Cerita tentang Revan yang memasukkan sebuah foto dengan caption galau. Oke, sepertinya beberapa sifat Riana dulu belum hilang sepenuhnya.

Sifat kepo juga penggerutunya di saat-saat sendiri di dalam kamar kadang masih kambuh.

Riana mendadak membeku ketika berniat memeriksa satu kardus lagi.

Isi kardus itu …

Benar-benar membuat dinding pertahanannya goyah.

Sekarang, lidahnya kelu. Matanya susah mengedip. Rahangnya sulit digerakkan. Telinganya bising. Dan segala kejadian aneh yang menimpanya.

Tahu yang menyebabkan Riana seperti ini, apa?

Riana terpekur melihat isi kardus itu. Sebuah hard disk ungu. Setangkai mawar ungu yang pernah diawetkannya, sehingga mawar itu belum layu-layu juga meskipun sudah kurang lebih tujuh bulan berada di kardus itu.

Riana merasa ada yang baru saja menyulut hatinya. Membuat sebuah nyeri berdentum-dentum sesuai irama musik dari sebuah kisah menyedihkan. Membuat ingatannya kembali ke masa dimana semua bermula.

Pagi itu sangat cerah. Riana bangun lebih awal dari alarmnya kemudian bergegas mandi untuk dapat mencapai sekolah lebih awal.

06.15

Cewek itu sudah sampai di Wizard High. Duduk di ruangan kelas sendirian sambil menuliskan rencananya hari ini di dalam buku jurnalnya. Lima belas menit lagi, teman sebangkunya akan datang. Lima belas menit lagi, Riana akan kesusahan menahan senyum melihat sejauh apa rencananya berhasil, bahkan ketika baru dimulai.

Ketika Riana berhasil menemukan Aviva, senyumnya mengembang sempurna. Seperti kelakuannya yang biasa, cewek itu langsung mengajak teman sebangkunya itu untuk menuju halaman belakang sekolah seperti biasanya. Di sana, Aviva akan menulis dan Riana akan menulis juga, hanya saja pengertian menulis di sini berbeda.

Setelah Riana yakin teman-temannya yang lain sudah datang, Riana mengajak Aviva untuk kembali ke kelas.

“Well,Nasya belum datang?” tanya Riana, mendongak lalu menyisir pandangannya ke sekeliling kelas.

“Masih mimpi indah kali, kemaren sore dia kan abis rekaman,” sahut Aviva.

Tidak lama setelah itu, Aurel masuk ke dalam kelas, dengan senyum cerah dan tampilan bersemangat seperti biasanya.

“Pagi, Rel,” sapa Riana, memasukkan buku jurnalnya ke dalam tas.

“Pagi, Ri!” balas Aurel bersemangat. Cewek itu meletakkan tasnya ke kursi. “Ini hard-disk siapa?”

Sontak, Aviva, Riana, juga Kanissa yang sudah datang menoleh pada Aurel. Melihat hard-disk berwarna ungu yang ada di tangan cewek itu.

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang