Isolate (H) : Harapan

367 142 21
                                    

Isolate (H) : Harapan Penerbit Sinar

DIAM-DIAM Riana selalu bertanya bagaimana rasanya bisa melihat seorang pria dengan jas masuk ke rumahnya sambil tersenyum hangat. Ah, mungkin Riana harus meralat. Dia ... sudah sering melihat pria menggunakan jas masuk ke rumahnya, jadi Riana harus mengatakan bahwa dia, ingin memanggil seseorang dengan sebutan Ayah.

Ya.

Ayah.

Bukankah empat huruf itu terlihat begitu sederhana sampai-sampai Riana ingin sekali memanggil seseorang dengan sebutan itu?

Selama tujuh belas tahun hidupnya di dunia, rasanya kalimat sakral itu belum pernah Riana munculkan untuk memanggil seseorang.

Miris, ya?

Sejak kelas delapan SMP, Riana tahu bahwa dia bukanlah anak yang terlahir baik-baik. Sejak kelas delapan SMP, pertanyaan itu selalu bercokol di kepala Riana.

Pertanyaan ... siapakah Ayahnya?

Apa benar Riana adalah buah dari pekerjaan Mamanya di masa lalu? Dan, dengan bertidak tanggung jawabnya, Papa kandung Riana pergi meninggalkan mereka dan berakhir, seperti ini. Berakhir dengan Riana yang terlahir tanpa Ayah.

Mamanya pernah bilang kalau Papanya pasti sudah meninggal. Tapi, entah untuk alasan apa, Riana tidak pernah percaya.

"Ri?"

Seseorang di luar memanggilnya, membuat Riana mau tidak mau harus bangkit dari kasurnya dan menemui sang pemanggil.

"Kenapa, Ma?"

"Malam minggu loh sekarang. Keluar, yuk? Mama kepengen makan bakso kayaknya," ajak Yusnila pada anak semata wayangnya itu. Dia berharap, makan malam sederhana ini bisa membuat hubungannya yang dilanda perang canggung antara dia dan Riana berhenti.

"Riana udah makan." Anak perempuan itu menunjuk piring yang terletak di atas meja belajarnya.

Siapapun tau ada rasa pedih mengetahui seseorang sedang menolak ajakanmu dengan halus. Yusnila tersenyum. "Yaudah. Nggak jadi. Mama bikin makanan aja di rumah."

"Ma."

"Kenapa, Ri?"

"Nggak usah nahan selera," kata Riana menatap lekat wanita yang sudah mengandungnya. Ia berjalan ke dalam kamar dan mencari sweater. "Riana nemenin Mama."

Yusnila tersenyum cerah, mengalahkan lampu beribu-ribu watt yang sekarang menyala di setiap rumah orang. Untuk pertama kalinya setelah perang dingin antara ibu dan anak itu berlangsung, Riana mau menerima ajakan.

"Bakso Gajah Mungkur aja, ya?" tawar Riana mencari sepatu yang akan dikenakannya pergi. Gadis itu heran melihat Mamanya yang belum juga beranjak dari pintu kamar. "Ma?"

"Eh?" Yusnila seperti baru disadarkan. "Bakso mana aja, asal bareng kamu."

Sesampainya di tempat yang diinginkan, Riana memilih tempat duduk yang dianggap pas untuk dia dan Mamanya. Riana dengan minuman, dan Mamanya dengan semangkok bakso hangat kesukaannya.

"Beneran kamu nggak mau, Ri?"

Riana menggeleng. "Enggak."

Yusnila menatap anaknya itu sekali lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk makan. Ada yang ingin dibicarakannya pada Riana setelah ini.

Seperempat jam berlalu, akhirnya Yusnila berhasil menghabiskan baksonya.

"Kamu ke sekolah tadi pakai baju siapa?" tanya Yusnila memulai topik pembicaraan.

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang