Isolate (Y) : Yang Pergi

266 68 16
                                    

Isolate (Y) : Yang Pergi

KATANYA ini udah kali kedua ya Bang Alvin nggak ngehadirin pemakaman orangtuanya Bang Alvin?”

Pertanyaan dari Defasya, yang datang mewakili anggota OSIS dan ROHIS membuat Revan yang bersandar pada kusen pintu tersenyum samar. Pertanyaan Defasya seperti menamparnya pada kenyataan bahwa ia memiliki sikap kurang ajar.

Ketika Mamanya sakit, Revan malah pergi ke rumah Papanya.

Ketika Mamanya pergi, Revan tidak ada untuk sekedar berdoa.

Untuk sekedar menyiapkan tiga gumpalan tanah berjumlah ganjil.

Unltuk sekedar menyiram jenazah wanita yang pernah mengandungnya itu.

Untuk sekedar menangis di samping nisan berukir nama Mamanya.

Lalu sekarang kejadian serupa terulang kembali saat kematian Papanya. Revan baru sadar dari komanya hari ini. Kabar mengejutkannya adalah saat ia bangun, lalu bertanya keadaan Papanya, teman-temannya mengatakan bahwa Agra sudah tenang di pemakaman terakhirnya.

“Sakit banget ya rasanya nggak bisa jadi anak yang bermanfaat?” Defasya mengulum bibirnya. Entah kenapa dia dirundung rasa sakit juga. Yah, mungkin ini hanya sekedar sifat simpati pada kondisi Revan.

“Kelewat sakit,” kekeh Revan sumbang. Ia berharap semoga Defasya tidak mendengar seberapa menyedihkannya suara itu.

“Katanya, orang yang lagi patah hati beresiko jadi orang bijak. Nggak … mau ngebuktiin?” tanya Defasya ragu, maksud utamanya adalah membawa Revan menjauh dari rasa terpuruknya. Oke, Defasya tahu memang hak seseorang bersedih ketika orangtuanya pergi, tetapi melihat Revan seperti itu terus, Defasya ikut merasa sedih.

Entah untuk alasan apa.

“Siapa yang lagi patah hati coba? Dih sampis banget patah hati cuman karena cinta.” Revan membenturkan kepalanya lumayan keras ke kusen pintu, membuat Defasya yang mendengar meringis seketika.

“Gue nggak ada bilang loh ya, kalo Bang Alvin patah hati karena cinta. Tapi, bagus deh ngaku.” Defasya tersenyum samar, ia coba mencari topik obrolan lain. “Eh kalo boleh tekwan, kenapa patah hati? Bukannya Kak Riana kemarin bilangnya udah mulai ngerespon Bang Alvin, ya?”

Mengabaikan kata ‘tekwan’ yang diucapkan Defasya, Revan kembali membuka matanya untuk menatap perempuan itu. “Berarti lo beneran nguping kemaren?”

Pipi Defasya bersemu. “Lah suara kalian doang yang kegedean,” elaknya, “Lagian kan Bang Alvin juga nanya ke gue kalo misalkan cewek udah mulai ngerespon kita itu tandanya apa. Masa lupa, sih?”

“Rasanya kemarin emang beneran bentar banget ya, Sya. Baru aja gue kemaren cerita heboh-heboh soal Riana, terus baru aja gue seneng nelpon sama Bokap, terus tiba-tiba di satu hari gue dikasih tahu kabar kalau Riana jadian bareng Rian, terus … Bokap gue duluan. Lucu banget tau nggak, berasa drama alay gitu,” ceracau Revan, pandangan matanya kosong.

“Baru sadar ya kalau waktu itu emang penting banget dalam hidup?” Defasya menghela napas di ujung senyumnya. “Patah hati adalah alasan seseorang kerap kali menangkis perasaannya.”

“Jadi, yang patah hati sebenarnya itu lo atau—“

Tanpa dijanjikan sebelumnya, tubuh Defasya tiba-tiba saja mendekap Revan. Memeluknya erat seperti takut kehilangan. Tangannya yang bertaut di belakang punggung jelas sekali sekarang tengah gemetar.

“Sya? Lo tau kan kalau—“

“Bentar aja Bang, boleh?” tanya Defasya. Sejujurnya ia berusaha menyembunyikan  matanya yang kini mengeluarkan air mata. Tidak tahu untuk apa. “Gue nggak tau kenapa orang yang cintanya tulus malah disia-siain.”

Isolatonist GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang