Prologue

1.8K 33 1
                                    

Prologue

Siang itu kelabu. Mendung, dengan langit berawan dan jalan yang basah bekas hujan. Aku merasakan rinai gerimis dari balik kaca jendela, jemariku menyentuhnya halus. Dingin, namun begitu menyejukkan.

Seseorang di depanku menyeringai geli. Dia menangkup secangkir esspresso hangat dengan tangannya, lalu menghirup minuman itu perlahan.

"Kamu ternyata masih suka hujan, ya." Dia tiba-tiba berujar.

Aku mengedarkan pandangan keluar. Tidak berniat untuk meliriknya, apalagi melihat kedua mata itu.

"Memang sudah begitu dari dulu." Jawabku sekenanya.

"Apa sih yang indah dari bulir air di kaca dan jalanan yang basah?" Dia membetulkan posisi duduknya kemudian menatapku seolah aku satu satunya objek disana.

"Yang kudengar ketika hujan itu melankoli dan lirik lagu cengeng di radio." Lanjutnya.

Aku menghela napas. Berkali-kali menyalahkan diri sendiri karena menerima ajakannya kemari. Just for some coffee, katanya. Some coffee? Aku merasa kami sudah disini sejak dua jam yang lalu. Menunggu hujan reda ditemani dua cangkir latte yang sudah mulai dingin, sambil membicarakan hal-hal sepele yang ngalor ngindul tanpa akhir.

"Yang indah itu kan nggak selalu terlihat. Mungkin bagimu, hujan cuma bikin basah. Nggak bisa main keluar, menikmati matahari. Tapi buatku hujan itu bikin tenang." Aku memangku dagu dengan sebelah tangan, meliriknya sedetik, kemudian kembali memandang jendela.

Dia lalu tersenyum. "Ternyata perkiraanku benar, ya. Kamu masih seperti dulu."

Dulu. Kata itu selalu ada dalam setiap kalimatnya. Statement yang dari awal membuatku gerah karena merasa dibandingkan. Dulu kamu begini, dulu kamu begitu.

"5 tahun bukan waktu yang lama untuk merubahku." Aku menoleh kearahnya, berusaha agar suaraku tetap datar.

"Bukan waktu yang lama untuk merubah presepsiku tentang hujan. Dan bukan waktu yang cukup untuk membuatku berubah total, sepertimu."

Dia menaikkan sebelah alis. "Gue berubah total? apanya?"

Aku menghela napas. Are you trying to sounds innocent or stupid? Sudah cukup dia pergi dari hidupku dan kembali dengan tiba-tiba. Sekarang apa lagi yang dia inginkan? Balas dendam atas sakit hatinya? Memamerkan kesuksesannya? Atau ingin dipuji?

Aku menatapnya lurus. Meneliti wajah itu yang lima tahun lalu masih tampak polos. Aku memandang matanya yang jernih walaupun dihalangi sebentuk lensa. Tulang pipinya yang tinggi, rahang yang proposional. Aku meneliti semua figur itu.

"Kalau dari tampilan, ya, gue berubah. Banyak mungkin malah." dia kembali nyengir.

Jika ingin menggunakan kata dulu, aku akan bilang,

Dulu kamu culun. Celana longgar, kacamata tebal entah minus berapa, gestur yang kaku, lemah. Dulu kamu cowok lemah yang nggak tahu apa apa selain teori Darwin dan Aristoteles.

Aku ingin mengatakan itu di depan wajahnya agar dia tahu seberapa gondoknya aku. Bertemu dengannya lagi setelah waktu yang lama kemudian dengan entengnya dia mengajakku mengobrol. Di tengah hujan. Tentang masa lalu.

Tapi aku menelan kembali kata-kata itu. Pada akhirnya, aku hanya terdiam.

"Gue nggak berniat menyombongkan diri agar lo melihat gimana gue yang sekarang." Dia menegak habis minumnya, tidak menatapku, tapi dari nada suaranya aku tahu dia serius.

"Lantas apa yang kamu mau sekarang?" Aku bertanya, "Kita bukan lagi dua bocah yang baru mengenal cinta, Fran. Kita udah beda. Kenapa kamu malah melewati batas diantara kita yang udah aku bangun susah-susah?"

Dia setengah tersenyum. Jenis senyum yang membuatku membeku sesaat. Matanya menatap keluar, kearah hujan yang masih menyisakkan gerimis. Beberapa detik kami terdiam.

Aku pikir dia tidak tahu mau menjawab apa. Aku pikir aku menang. Dan setelah ini dia akan kembali menjadi bayanganku. Menjadi kenangan lama seperti dulu. Tapi pikiranku itu berubah ketika dengan santainya, dia menatapku. Langsung ke bolamata, Titik yang paling lemah. Aku menegang.

"Karena, gue ingin tahu, bagaimana hidup lo setelah gue pergi. Siapa yang mampu membuat lo percaya bahwa cinta dapat kembali. Gue ingin tahu, apakah perasaan kita waktu itu hanya sementara, atau tetap disini, menanti hingga sekarang?"

***

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang