Epilogue

430 15 2
                                    

Epilog

Fran's point of view

_______________

Diantara sekian banyak bintang, ada satu yang membuat gue ingat tentang Karin. Bintang itu letaknya lebih tinggi dari yang lain, dan entah kenapa terlihat paling bersinar. Ketika gue melihatnya, yang ada dalam pikiran gue adalah gadis itu. Selalu gadis itu.

Kesederhanaanya, sifat keras kepalanya, entah kenapa baru membuat gue mengerti. Bahwa hidup tidak seindah fiksi, bahwa happy ending bukanlah sebuah kepastian. Dan sore itu, di tengah langit Carita yang berganti warna, untuk kedua kalinya gue merasakan sakit yang monoton. Setiap hari, setiap waktu, namanya terngiang-ngiang dalam telinga gue seperti untaian lagu yang dia berikan.

Seperti kenangan masa lalu yang sampai sekarang belum juga pudar.

***

Gue mengambil posisi duduk di ayunan, mengadah untuk melihat bintang-bintang itu. Semilir angin malam masuk menembus kulit gue. Di luar sana, deru mobil serta suara jangkrik sesekali terdengar. Bergantian mengisi sepi.

Ruth duduk di sebelah, dia bersandar pada bahu gue. Harum shampo menguar dari rambutnya yang tergerai begitu saja. Membuat gue ingin membelainya ringan, mencium aromanya yang meski belum familier, tapi bisa menenangkan.

Gue memulai cinta baru dalam selembar kertas putih terakhir. Dalam kesederhanan Ruth yang mengingatkan gue dengan Karin. Dalam buku-buku kesukaannya, yang juga pernah menjadi kesukaan Karin. Gue menyayanginya, tapi bukan semata-mata untuk melupakan. Gue memilihnya karena dia membuat gue percaya. Percaya akan kesempatan kedua.

Ruth dan gue adalah dua orang yang sama. Fanatik biologi. Introvert. Kami memiliki pemikiran serta opini yang tak jauh berbeda dalam banyak hal. Seolah seperti soulmate, kalau kebanyakan orang bilang. Terlalu cocok. Dia perempuan intelek yang jago masak, tipe calon menantu impian mama. Dia mandiri, punya passion yang sama dengan gue. Dia tidak manja, tidak muluk-muluk dan berprinsip.

Semua orang melabeli gue dan ruth sebagai pasangan muda yang sudah mengenggam sukses. Brian, Reno, serta Siska selalu berlagak layaknya cenayang jika menyangkut hubungan kami. Kalian itu jodoh. Mereka tak pernah bosan bilang begitu. Kalian cocok, dan sudah seharusnya bersama.

Mungkin iya, mereka benar. Bahwa perempuan disamping gue ini adalah definisi soulmate sesungguhnya. Meski kami hanya sepasang teman pada awalnya, dan gue nggak merasakan getaran apapun ketika melihat Ruth untuk pertama kali, tapi it turns out bahwa definisi soulmate itu nggak bisa dijawab oleh gue maupun dia. Karena hanya waktu yang menentukan.

Dan ternyata benar, kita nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena hidup adalah sebuah kotak berisi kejutan yang tidak bisa dilihat sekaligus.

Hanya ada satu hal yang dapat gue pegang, waktu. Karena cepat atau lambat, kejutan itu satu persatu akan datang. Ada kalanya hal itu terasa seperti  bom atom yang meledak tanpa henti, memberikan banyak kombinasi perasaan. Dan ada kalanya juga kejutan itu hanya berupa percikan kembang api, sedikit demi sedikit, namun berakhir indah.

Cerita gue dan Ruth adalah festival kembang api di malam yang gelap tanpa bintang. Kenapa gue bisa bilang gitu? Karena Ruth adalah percikan semangat  disaat-saat terpuruk. Meski dia bukan Siska yang datang membawakan novel sherlock holmes ketika gue memilih untuk cuti kerja, atau  Brian yang menepuk pundak gue sebagai ungkapan belasungkawa, gue merasa Ruth adalah orang yang paling mengerti rasanya kehilangan. Karena dia pernah merasakan posisi itu. Karena dia paham betul apa yang harus dilakukan. Dan dia nggak mengasihani gue seperti mereka. Dia nggak berusaha menghibur. Dia tahu bagaimana rasanya ketika bumi nggak sama lagi buat gue.

Kepergian Karin memang sempat memberi efek buruk bagi gue. Gue sempat mengambil cuti, nggak mau ketemu orang lain dulu kecuali Siska karena masih dalam keadaan shock serta duka. Gue juga sempat setahun full menghindari toko buku. Gue nggak mau pergi kesana karena tempat itu begitu mengingatkan gue dengan Karin. Karin dan bukunya. Karin dan ceritanya.

Gue kembali merasakan sakit itu, rasa yang intens dan nggak bisa dideskripsikan. Tiap pagi gue disadarkan kenyataan bahwa selama bertahun-tahun gue salah paham. Bahwa Karin selamanya menyayangi gue dan masih menganggap gue lelaki yang membuatnya jatuh cinta. Gue dihantui perasaan menyesal setiap hari, dan itu nggak bisa hilang.

Sampai suatu saat Ruth datang. Perempuan itu datang menghampiri gue dan menawarkan sebentuk rasa yang familier. Kenyamanan. Bahu untuk bersandar. Sesuatu yang juga gue temukan pada Karin dulu.

Dan dia membuka pikiran gue akan masa lalu yang terus terikat. Dia tidak membuat gue lupa akan Karin. Dia tidak berusaha menghapus nama itu dan menggantikannya. Dia hanya menemani, duduk di sebelah gue tanpa bicara. Namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang menggetarkan hati. Sorot matanya mengatakan bahwa dia mengerti.

Bahwa dia juga menyayangi gue. Seperti Karin.

Gue memainkan rambut Ruth seperti yang dulu sering gue lakukan pada Karin. Menggulungnya menjadi sebuah konde kecil di belakang kepala.

Gue nggak bisa mengatakan, nama Karin sudah lenyap dari hidup gue. Gue nggak bisa memastikan, kapan kenangan itu meredup satu demi satu, kapan rasa itu menghilang seiring dengan waktu. Karena yang bisa gue lakukan sekarang adalah mencoba. Mencoba menyayangi Ruth dan menjaganya.

Mencoba merelakan.

Ruth menoleh dan meraih jemari gue. Dia suka membuat lingkaran-lingkaran kecil di telapak tangan, sebuah gestur sederhana yang membuat gue tersenyum.

"Fran," Dia memanggil pelan,

"Mhm?"

"Do you think they are happy?"

Gue menunduk untuk melihat wajah Ruth. Dia menutup buku yang tadi dibacanya lalu menghadap gue. Pertanyaannya tadi terdengar samar. 

"Apa dia bisa lihat kita darisana?"

Gue nggak tahu maksudnya, tapi sesuatu mulai memenuhi hati gue. Seperti sebuah tonjokan. Gue menatapnya, penasaran. "What do you mean?"

Dia menyelipkan helai rambut yang jatuh kebelakang telinga, kemudian menghembuskan napas. Ruth tidak bisa menebak perasaan gue dengan gamblang seperti Siska. Dia nggak tahu bahwa tadi gue sempat berpikir akan masa lalu.

"Apa orang-orang yang sudah meninggalkan kita, bisa melihat dunia dari atas sana dan merasakan kebahagiaan juga?" Ruth balik menatap gue.

Kerlip bintang di langit malam makin bersinar. Seperti ikut bertanya. Gue mengalihkan pandangan, entah kenapa masih sentimentil jika menyangkut perihal kehilangan. Gue berusaha menahan segala rasa yang kembali menyusup. Bongkahan raksasa dan semua luka lama.

Di antara sekian banyak bintang itu, gue memilih satu. Satu yang paling tinggi dan menurut gue paling indah. Satu yang selalu membuat gue ingat akan Karin.

"Mungkinkah mereka tahu bahwa kita disini begitu rindu?"

Ruth kembali menyandarkan kepalanya di bahu gue. Pertanyaan itu menggantung di udara, tak butuh jawaban. Tiba-tiba gue merasakan baju gue basah oleh airmatanya. Dia menangis. Tapi tidak untuk gue, dan tidak untuk penyesalan karena kehilangan kami.

Dia menangis karena rindu itu, karena kelemahan setiap orang akan masa lalu adalah nostalgia.

Entah dapat keyakinan darimana, gue berusaha untuk mengalahkan semua. Gue tersenyum, menatap bintang itu seolah Karin benar-benar ada disana. Dan dengan satu tekad bulat, gue mengangkat tangan untuk menghapus airmata Ruth. Menghapus lukanya akan kehilangan seseorang, dan kehilangan gue sendiri.

Ketika gue memejamkan mata, membiarkan sakit itu kembali datang bertubi-tubi, gue melihat Karin tengah berlari kecil diatas hamparan pasir.  Matahari memancarkan sinarnya, oranye keunguan.  Dia  tertawa bersama gue. Dia tak pernah melepaskan tangannya, dia selalu disini.

Gue kembali menatap bintang itu, kemudian mengucapkapkan seutas doa dalam hati untuknya. saat Ruth meremas jemari gue, gue merasakan kehadiran gadis itu. Karin, dia tersenyum dari atas sana. Bersama orang-orang yang juga menghadirkan kenangan untuk kami.

"Ya," Gue berbisik di telinga Ruth. Dia mendongak untuk menatap gue dalam gelap malam.

"Mereka pasti bahagia."

***

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang