Chapter 32

322 11 1
                                    

Fran's point of view

_______________

Gue melangkah mengikuti jalan setapak sepanjang losmen itu, di hadapan gue laut lepas terhampar luas. Pikiran mengenai Maya dan tujuan kedatangan ini memenuhi otak gue. gue harus segera bertemu dengan perempuan itu jika ingin semua pertanyaan ini terjawab.

Gue berjalan menuruni bebatuan dan membiarkan kaki gue lembab oleh pasir. Tempat ini sepi, seperti hanya ada gue dan kapal nelayan diujung sana.

Ada jembatan yang membelah pantai, usang dan tampak tua seperti dimakan usia. Gue berjalan kearahnya, berharap menemukan Maya.

Tiba-tiba, gue melihat sebuah pundak mungil dari kejauhan. Gue menyipitkan mata, melawan sinar mentari untuk meneliti siapa disana.

Sesaat setelah menyadarinya, gue bergerak buru-buru. Langkah kaki gue semakin cepat, menekan papan jembatan yang reot.

Maya, perempuan itu berdiri membelakangi gue tanpa sadar. Bahunya ringkih entah kenapa, seperti Karin beberapa tahun silam.

Dalam hati, gue mempersiapkan diri untuk sebuah kejujuran yang akan gue hadapi. Seperti seorang pasien ketika menerima diagnosa dokter, gue merasakan gemuruh di jantung. Monoton. Keras. Dan getaran itu semakin lama semakin menyiksa.

Ketika akhirnya Maya menoleh kebelakang, gue terkejut. Dia berubah, drastis untuk ukuran waktu yang tak lama. Gue berjalan menghampirinya.

Maya mengenakan kemeja berkerah sabrina, dengan rok rumbai yang sesekali bergerak terkena angin. Rambutnya tergerai, bukan lagi bentuk bob yang mencuat, melainkan panjang sampai punggung. Tampak lembut dan berkilau karena matahari.

Gue berusaha agar terlihat biasa seolah selama ini tidak ada apapun. Karena yang gue inginkan bukanlah kabar darinya, atau sebuah kalimat basa-basi mengenai hidupnya sekarang. Yang gue harapkan hanyalah kotak itu, kotak yang katanya berisi jawaban.

Gue melangkah mendekat,

"Kenapa lo melakukan ini?" gue membiarkan kalimat itu keluar begitu saja seolah wajar untuk menanyakannya.

"Kenapa bukan dia yang datang?"

Gue menyamakan posisi dengannya, berdampingan berdiri disana. Langit sudah dicoret beberapa sabetan oranye, yang entah kenapa membuat gue merasa hangat.

Maya menarik nafas, seperti ingin menjelaskan sesuatu namun terlalu ragu.

"Karena dia takkan bisa kembali, Fran."

Ketika dia mengatakan itu, seolah ada bongkahan raksasa yang menghantam hati. Gue berusaha menutupi kekecewaan serta amarah karena ucapan tersebut.

"Apa maksud lo?" Gue menatapnya, mencari jawaban yang mungkin dia sembunyikan.

"Kenapa lo berani bilang gitu?"

Maya tidak mau melihat, ini semua kembali seperti permainan bagi gue. Apa sulitnya bicara? Gue bukan berada disini untuk menunggu. Apa yang dia inginkan sebenarnya?

"Why you want me to come?" Sekali lagi gue mencoba bertanya.

Maya membalikkan badan, tiba-tiba. lalu dia membuat gestur seperti mengajak gue untuk meninggalkan jembatan itu.

"Lo mau kemana?" Gue melangkah mengikutinya.

Maya menoleh sekilas, kemudian menunjuk sebuah kursi di bawah pohon cemara. Seulas senyum muncul di bibirnya, tanda yang entah berarti apa.

"Kita bisa memulainya disana." Dia berkata, "Dan lo nggak perlu menanyakan apa-apa lagi karena yang akan gue berikan adalah jawaban untuk semuanya."

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang