Chapter 22

210 10 0
                                    

Fran's point of view

_______________

Kemarin, gue mengantarkan Karin balik ke apartementnya. Dia masih tidur ketika kami udah sampe. gue mau ngebangunin waktu itu, tapi nggak tega. Gue tahu dia begitu lelah.

Saat gue masukin mobil ke basement, tiba-tiba ponsel Karin bunyi. Gue berniat membiarkannya, tapi bunyinya seperti nggak bisa berhenti. Dan waktu melihat caller id yang terpampang, gue merasa harus mengangkatnya.

Maya editor, 15 missed calls.

Setelah gue menimbang-nimbang, akhirnya gue putuskan untuk menerima panggilan itu. suara yang gue dengar waktu itu penuh kepanikan, begitu melengking sehingga gue harus menjauhkan telepon dari telinga.

"Halo, Karin!" oh my god, lo kemana aja sih hah? Gue teleponin berkali-kali nggak diangkat, gue sms nggak di baca. Lo pergi kenapa nggak bilang-bilang sih? Lo tahu itu penerbit nanyain kenapa lo nggak ada pas meeting. Gue bingung mau jawab apa, akhirnya gue yang kena marah tau,"

"Draft terakhir yang lo selesain belum ada di gue. Gue udah kirim email tapi nggak satupun yang lo balas. lo lagi sama siapa sih? Kapan pulangnya? Terus gimana supaya gue bisa handle orang penerbit itu?"

Gue hanya terdiam, nggak tahu mau ngomong apa.

"Rin! lo kok nggak jawab sih? ayolah jangan bikin gue makin khawatir."

gue akhirnya menghela napas dan berkata jujur. Gue bilang kalau gue Fran, teman lama Karin. Gue menjelaskan dengan singkat kenapa ponsel Karin bisa ada di gue dan dimana dia sekarang. cewek bernama Maya itu mendengarkan baik-baik sampai gue selesai, namun setelahnya dia terdiam.

Gue pikir awalnya dia akan menutup telepon, tapi ternyata enggak. Gue mendengar dia mendesah, kemudian bilang kalau dia akan on the way kesana. Gue sempat bingung dia mau ngapain, dia yang telepon, wajarnya sih dia menitipkan pesan buat Karin atau semacamnya, tapi dia malah bilang dia harus ngomong sesuatu sama gue.

Meski ragu, akhirnya gue setuju dan membangunkan Karin. Gue mengantarnya sampai lantai atas tempat apartementnya kemudian membiarkan dia istirahat. Karin sama sekali nggak bilang apa-apa selain makasih. Dia bahkan nggak melihat langsung kearah gue. Gue mengucapkan selamat tinggal sebisanya, dan mengecup keningnya. Dia hanya tersenyum kaku, lalu menutup pintu. Seperti nggak ingin melihat gue lagi.

Gue keluar dari apartementnya dengan ya, perasaan kacau. Gue capek karena baru saja menempuh perjalanan 3 jam dari Carita, kaki gue pegal, dan kepala gue pusing karena kehujanan. Bukan hanya fisik yang lelah, hati juga. Gue seperti nggak tahu mau ngapain selain pulang, begelung di balik selimut, dan berhenti memikirkan Karin.

Ketika gue kembali ke basement, gue melihat seorang gadis berdiri di samping pos security. Dia memegang map berlogo rumah sakit tempat gue kerja, dan beberapa kantong plastik yang sepertinya berisi obat. Dari wajahnya, gue mengenali gadis itu. Dia Maya, editor sekaligus teman Karin yang waktu itu kambuh epilepsi dan tadi menelepon gue.

Gue memanggilnya, mungkin dia emang lagi nunggu gue karena tadi kita janji mau bertemu di depan lobi. Dia menoleh, lalu menyapa gue singkat. Suasana agak canggung pas gue tanya apa hal yang mau dia omongin.

Gue sempat berpikir dia akan memberi pertanyaan interogasi karena Karin pergi seharian bersama gue. dia memang menanyakan itu di awal. tapi nada suaranya tidak menuduh atau curiga, lebih karena penasaran.

Gue memperhatikan Maya, yang kayanya bertolak belakang banget sama Karin. Dia kelihatan cuek dengan kaus polo dan jeans belel selutut, ekspresinya juga agak judes. Mengingatkan gue dengan dosen pembimbing skripsi. Tapi, begitu kenal dan kita ngobrol, gue merasa dia orangnya friendly. Nggak muluk-muluk , persis Arfi.

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang