Chapter 10

297 12 0
                                    

Fran's point of view

_______________

Entah kenapa, langit tiba-tiba mendung dan turun gerimis. Gue mengurangi kecepatan mobil dan mengarahkannya ke jalur kiri. Disebelah gue, Karin duduk memandang jendela, jemarinya menelusuri bulir air disana. Dia selalu begitu ketika hujan turun. Gestur yang pengin banget gue abadikan dalam sebuah foto.

Karin belum ngomong apapun sejak kami pergi dari apartementnya. Gue tahu dia pasti kaget dan nggak nyangka kalau tempat yang gue maksud itu adalah pantai. Pantai carita, pantainya gue dan dia.

Gue udah lama pengen balik ke sana. Bukan untuk liburan, gue hanya ingin menenangkan diri, ingin terbebas dari segala urusan yang bikin kepala pusing. Awalnya, gue berniat pergi sendiri. Nggak usah lama-lama, sehari semalam juga cukup. Gue akan menghabiskan waktu di tepi pantai, melihat horizon langit berganti warna, dan menonton matahari terbenam, sendirian.

Tapi niat itu selalu gue urungkan karena melihat kegiatan yang makin sibuk. Kuliah, magang, nyelesain paper dosen, skripsi. Gue nggak punya waktu untuk hal kaya gitu.

Lagipula buat gue, Carita itu adalah bagian dari masa lalu. Tempat yang isinya kenangan waktu dulu. Gue pergi kesana sama aja dengan membawa kembali cerita zaman SMA. Dan itu hanya akan membuat gue ingat tentang dia, Karin.

***

Lima tahun lalu, sehari setelah graduation party sekolah, gue, Karin, dan beberapa teman dekat kami memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Impuls, nggak ada rencana sama sekali. Sampai hari keberangkatan pun baik gue atau mereka nggak ada yang tahu mau kemana. Tadinya gue pengen pesen tiket pesawat ke bali buat kami, tapi nggak jadi karena waktunya terlalu mepet. Kita hampir membatalkan rencana itu ketika tiba-tiba Karin ngasih usul untuk pergi ke Carita, sebuah pantai yang nggak terlalu jauh dari Jakarta.

Gue dan yang lain setuju, lagipula waktu itu kami nggak bawa banyak bekal dan uang saku. Gue udah siap berangkat ketika tiba-tiba salah satu mobil teman gue mogok dan harus di bawa ke bengkel. Karin yang waktu itu udah semangat-semangatnya, kecewa karena nggak bisa berangkat bareng. Tapi kekecewaan itu nggak berlanjut lama setelah mereka bilang akan menyusul nanti.

Akhirnya, gue dan Karin berangkat berdua dengan mobil gue. Kita pergi siang-siang, dengan harapan dapat melihat matahari tenggelam sesampainya disana. Selama perjalanan, Karin nggak berhenti ngomong tentang apapun. Tentang kehidupan SMA yang sudah selesai, tentang rencananya di masa depan. Gadis itu dulu begitu ceria, dan gue senang banget dapat melihatnya seperti itu.

Kita mengobrol ringan ditemani lagu-lagu kesukaannya yang disetel stereo mobil. Salah satunya, together with the sun down, lagu stephen jerzak yang selalu dinyanyikan Karin ketika bersama gue.

Gue merasa hari itu, semuanya tampak sempurna. Ketika mendengarnya bercerita, ketika nggak sengaja gue menatapnya sedikit lebih lama. Untuk pertama kalinya saat itu, gue merasa hidup gue lengkap. That's sounds a little bit chessy I know, tapi itu adalah pernyataan yang paling tepat untuk menggambarkan semuanya.

Ketika gue dan dia sampai di pantai, matahari belum terbenam. Langit hanya dicoreng beberapa sabetan oranye yang indah, dan horizon tengah berganti warna. Gue terpukau melihatnya. Walau pantai itu nggak ada apa-apanya di bandingkan kuta atau sanur, but I feel amazed by the view. Gue merasakan kesenangan yang membuat gue nggak bisa berhenti senyum.

Saat gue menoleh kearah Karin, dia membalas senyum gue. Dia memandang gue dengan tulus, seolah ikut merasakan kebahagiaan itu. Gue nggak tahu apa yang membuat gue berpikir kalau hidup gue sudah lengkap, padahal masa depan gue masing panjang. ini baru awal dari sebuah perjalanan.

Tapi kemudian gue sadar, bahwa sumber dari kebahagiaan itu adalah kenyataan bahwa dia selalu ada di samping gue. Menemani gue dari waktu ke waktu, hingga hari itu.

Dan dia adalah orang yang paling gue sayang melebihi apapun.

***

Mobil gue sudah keluar dari jalur free way, sebentar lagi pemandangan laut akan terlihat di sepanjang jalan. Gue melihat Karin yang masih dalam posisi duduknya semula, menghadap jendela. Dia hanya sesekali melirik gue dan mengganti lagu yang tengah diputar. "Terlalu banyak nostalgia." Katanya.

Gue tidak tersinggung mendengarnya, malah senang karena itu berarti Karin jujur dengan perasaanya sendiri. Gue dan dia, sama-sama stuck dengan masa lalu dan segala macam kenangan. Itu adalah hal yang nggak bisa kami bohongi.

Dia menyandarkan kepala di bahu jok, matanya memandang lurus. Dulu, kalau gue sama dia lagi berantem, dia akan begini. Ngambek, nggak mau lihat gue dan selama perjalanan cuma memandang jalan. Dia akan memonopoli stereo mobil, menyetel lagu-lagu sedih supaya gue sadar akan kesalahan gue. Dulu, gue pikir itu adalah aksi ngambek yang kekanak-kanakan, walaupun sebenarnya gue nggak tahan ngeliat dia kaya gitu. Tapi sekarang, setelah beberapa tahun kepisah sama dia, gue merasa senang melihatnya kembali seperti itu. Menjadi Karin gue yang dulu.

"Udah mau sampe nih, kok masih aja ngambek. Kan lo sendiri yang maksa buat pergi."

Gue melirik kearahnya, setengah ingin tertawa. Sometimes, dia menunjukan sisi anak kecilnya seperti sekarang ini.

"Aku kan nggak kepikiran kalau kamu mau kesini." Dia berucap tanpa melihat kearah gue. Masih ngambek rupanya.

Gue menoleh sebentar, "Terus lo mau balik nih ceritanya?"

Dia menggeleng, "Jangan!" balasnya, terlalu cepat merespon.

Gue tergelak. "Tuh kan, diajak balik malah nggak mau. Karin, Karin."

Dia menunduk, terlihat salah tingkah. "Em, ya itu kan sama aja buang-buang bensin. Lagipula udah sampai sini, tanggung kalau pulang."

Gue tersenyum jahil. "Berarti lo nggak keberatan kan?"

Dia mengadah, "Enggak sih, tapi.."

"Tapi apa?"

"ada satu syarat supaya aku nggak ngambek lagi."

Gue melihatnya, tampak penasaran. "Syarat apaan?"

Dia menyengir malu. "Cari toilet ya, I have to pee."

Gue tertawa lepas.

Finally, I found the old you, Karin.

***

"Kamu ngeborong supermarket ya?"

Gue terkekeh melihat Karin membawa sekantung besar plastik berisi makanan ringan. Kami berhenti di pinggir jalan dan mampir sebentar kesana untuk membeli makanan. Different than the other girls, she loves food a lot.

Dia menoleh skeptis kearah gue, "Nanti kalau aku kelaparan gimana?"

"Mancing aja sana di laut." Gue tersenyum jahil.

Dia memukul lengan gue ringan, bermaksud bercanda. "Enak aja, dipikir nelayan!" serunya sambil manyun.

Gue kembali tertawa, lalu mengacak rambutnya asal.

"Terserah deh ya, you fatty little girl."

Karin langsung mengerutkan bibir. "You will take that words back, fran." ancamnya sambil bertolak pinggang.

"Catch me if you can!" Gue berlari kecil keluar dari pintu supermarket, meninggalkannya sendiri disana.

Setelah membayar gue balik ke mobil sementara dia izin ke toilet sebentar. Gue nggak sadar seberapa konyol kelihatannya gue sekarang, tapi yang gue rasakan adalah susah banget untuk nggak senyum ketika melihat dia. It's just feel so nice to see her again, after all this time.

Beberapa saat kemudian dia kembali masuk mobil dan kami melanjutkan perjalanan. Kali ini, dia asik minum kopi kaleng sambil bersenandung. Lagu di radio sedang memainkan Stop this trainnya john mayer.

Gue nggak nyangka semuanya berjalan jauh lebih baik dari yang gue harapkan. Karin juga kelihatan menikmati sisa perjalanan itu dan berkali-kali membalas tatapan gue. Suddenly, gue merasakan sesuatu yang familier, luapan berbagai macam rasa yang membuat gue nyaman.

And I really hope she feel the same.

***

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang