Chapter 1

716 24 0
                                    

Fran

Gue duduk dibalik meja jaga, berusaha menahan kantuk yang menyerang seperti dua iblis menggantung di mata. Jam di depan gue menunjukkan pukul sepuluh malam, waktu yang menurut gue masih sore. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini gue merasa lelah banget. Mungkin jam tidur gue kurang, atau asupan makan gue yang nggak bener karena hampir tiap hari makan mie instan. Mungkin.

Sebagai anak kostan yang belum lulus, gue beruntung banget bisa magang di salah satu rumah sakit besar Jakarta. Berkat kenalan bokap yang seorang dokter spesialis handal disini, gue dapat pekerjaan lumayan yang nambah pengalaman. So for me, is take it or leave it.

Gue ambil kerjaan itu dengan dukungan bokap. Walaupun itu artinya waktu gue akan tersita banyak, tapi nggak apa-apa. Karena dari dulu inilah mimpi gue, ambisi terbesar gue.

Jadi anak magang nggak selamanya enak, apalagi junior yang belum terjun ke lapangan langsung kaya gue. Setiap Sabtu, gue dapet shift malem. Yang seharusnya dipake buat jalan atau sekedar begadang main ps, jadi terbuang buat duduk melamun di balik meja jaga. Menunggu.

Gue menatap koridor UGD yang sepi. Bau obat tercium dimana-mana, bahan kimia yang nggak bisa lepas dari suasana rumah sakit.

Hanya ada seorang dokter jaga di dalam. Pria berusia awal tiga puluhan yang sama letihnya dengan gue. Dia sesekali keluar dari ruangan untuk pergi ke toilet atau membeli kopi.

Sejak magang disini, gue jadi banyak menangani jenis pasien yang sakit. Kecelakaan mobil. Keracunan makanan. Tertusuk benda tajam. Pengalaman bagus yang bisa gue jadikan survey untuk skripsi nanti.

Gue tengah mengecek sebuah lampiran ketika tiba-tiba suara sirine ambulans terdengar dari luar. Gue segera bangkit lalu berjalan kearah pintu. Dua perawat tampak menurunkan seorang pasien. Keadaan yang gelap membuat gue sulit memperhatikan.

Ketika mereka sampai didepan pintu, gue langsung menelepon dokter jaga. Memberi kode persiapan. Satu dari perawat tadi menerobos pintu masuk, dan dari sini gue baru tahu kalau pasien itu bukan pingsan, tetapi kejang-kejang.

"Epilepsi kambuh. Bawa ke ruangan sekarang!"

Gue menuruti instruksi sang perawat. Dengan sigap gue membantunya mendorong tempat tidur pasien.

Pasien itu seorang perempuan. Kira-kita usianya akhir dua puluhan. Dia kejang hebat, kedua matanya melotot seperti mau keluar, seluruh tubuhnya gemetaran, dan mulutnya menganga. Perempuan itu segera dibawa ke ruangan dokter oleh perawat. Ketika mereka sudah menuju ke dalam gue baru sadar, ada seorang cewek yang menunggu dan memaksa untuk masuk. Seperti biasa.

"Maaf, mbak nggak bisa masuk. Tolong tunggu disini aja." Gue berusaha mencegahnya.

Wajah perempuan itu dihalangi poni panjang yang keluar dari gulungan rambutnya. Gue nggak bisa melihat jelas, tapi yang gue tangkap, ada sekelebat perasaan khawatir di raut mukanya.

Gue merasa mengenali proporsi tubuhnya. Kurus, mungil, dengan balutan dress jeans polos yang lebih mirip daster dan cardigan flanel warna putih. Gestur perempuan itu kelihatan letih.

Tetapi begitu dia mengadah untuk melihat gue, gue tau gue salah besar. Gue bukan hanya merasa mengenalnya, tapi gue jelas jelas tahu siapa perempuan itu.

"Karina?"

Gue nggak percaya bakal menyebut nama itu lagi. Setelah bertahun-tahun gue mencoba untuk menghapusnya jauh-jauh dari ingatan, sekarang pemilik nama itu malah berdiri tepat di depan gue.

Kami saling menatap. Satu menit. Dua menit. Nggak ada yang bicara sama sekali.

Akhirnya, dia yang merusak momen itu dengan memutus kontak mata. Gue langsung membuang pandangan kearah koridor UGD yang sepi. Berusaha menata perasaan yang campur aduk.

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang