Chapter 3

445 17 0
                                    

Fran's point of view

_______________

Hari ini selepas kuliah, gue langsung menuju rumah sakit untuk mengantar beberapa berkas. Gue lagi nggak jaga, tapi ada seseorang yang minta profil gue sebagai anak magang disana.

Gue memarkirkan mobil di tempat biasa,  langsung menuju resepsionis yang sudah familier dengan gue. Dia bilang gue bisa menitipkan berkas itu karena orang yang mau ketemu gue masih ada urusan.

Gue memutuskan untuk menunggu di kedai kopi daripada ngedrop berkas itu lalu pulang. Seharian gue mendengar dosen pembimbing yang terus nagih tentang skripsi. Gue penat, jadi secangkir latte adalah sesuatu yang gue butuhkan sekarang. maka, gue mengambil tempat di pojok dekat jendela, dan memesan minuman itu.

Kedai kopi disini memang nggak sebagus cafe atau coffee shop diluar. Interiornya sederhana dan menu nya pun ordinary. Tapi yang gue suka dari tempat ini adalah suasananya yang nyaman banget. Meskipun berada di dalem rumah sakit yang atmosfernya nggak enak.

Gue mengambil majalah edisi bulan lalu dari rak buku disamping tempat duduk gue. Isinya kumpulan artikel tentang kesehatan. Gue langsung menutup majalah itu karena entah kenapa, gue lagi mumet banget dan nggak mood baca-baca istilah biologi yang bikin kepala pusing.

Akhir-akhir ini, selain pikiran gue yang lagi nggak fokus, gue juga sering berharap dapat bertemu lagi dengan Karin. Itu aneh banget. Gue sempat berusaha untuk mengalihkan pikiran, tapi nggak bisa. Dan semenjak bertemu dia, semua yang ada di gue seperti balik lagi ke masa dulu.

Dulu gue selalu jadi orang yang lebih mendengarkan otak daripada hati. Gue kaku, hampir gak pernah bawa perasaan, dan jauh dari sifat ekspresif. Bagi gue, manusialah yang harusnya mengendalikan perasaan, bukan malah perasaan itu sendiri yang mengendalikan dirinya dan menghasilkan tindakan bodoh serta nggak relevan.

Selama gue bersama Karin, presepsi gue tentang semua itu mulai berubah sedikit demi sedikit. Meski gue dan dia adalah dua individu yang bertolak belakang, kami sering bertukar pendapat tentang ini-itu. Dan akhirnya, dia sendiri yang membuktikam ke gue kalau terkadang, otak tidak selamanya mengerti hati. maupun sebaliknya.

Seperti sekarang, ketika gue sedang setengah melamun, membiarkan pikiran gue melayang entah kemana. Gue merasa otak dan hati gue sedang berselisih. Di satu sisi, gue ingin melenyapkan semua pikiran tentang dia, seperti dulu. Tapi di sisi lain, gue ingin melihatnya lagi. gue ingin tahu kabarnya, dan segala perubahan yang terjadi dalam hidup gadis itu.

Gue..... kangen

Suara decit pintu yang didorong tiba-tiba memecahkan lamunan gue. Gue menoleh sekilas, dan melihat seorang cewek berjalan masuk. Dia membawa sebuah map berlabel rumah sakit ini. Seketika itu juga punggung gue menegak. Gue memandang refleksinya dari balik kaca jendela, memastikan sekali lagi kalau gue nggak salah liat.

Itu, dia. Karin.

Gue menghela napas. Benar-benar merasa dipermainkan oleh takdir.

***

Karin's point of view

_______________

Maya sudah diizinkan pulang siang tadi. Aku menjenguknya sambil mengabarkan bahwa deadlineku selesai lebih cepat dari seharusnya. Berita baik yang cukup membuat dia senang karena tidak harus mengejar-ngejarku lagi untuk revisi.

Dokter bilang, dia masih dalam pemulihan dan harus banyak istirahat. Ini memang kali pertama dia kambuh dalam beberapa tahun. Jadi wajar kalau penyembuhannya agak lama.

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang