Chapter 18

235 9 0
                                    

Fran's point of view

_______________

Gue berusaha mengendalikan diri agar nggak meledakkan semua emosi itu di depan Karin. Dia masih tetap pada posisinya, sementara gue memilih bangkit dan pergi. Dia nggak menoleh ke gue sedikitpun, tapi gue tahu dia menangis karena kata-kata itu.

"You're just full of bullshits."

Ya, itulah yang akhirnya keluar dari mulut gue untuknya. Gue tahu itu kasar dan pasti menyakitinya, tapi gue pikir, hanya kata-kata itu yang pantas menggambarkan perasaan gue sekarang.

Dia penuh omong kosong. kepercayaannya tentang cinta

dan segala hal yang dia katakan tadi membuat gue muak. Gue capek, yang gue inginkan hanya kejujurannya, serta alasan mengapa dia pergi begitu saja. Gue hanya ingin itu, is that too much to ask for?

Gue nggak mengerti maksudnya kami jauh, atau kami bukanlah dua orang yang sama lagi. Jelas-jelas gue selalu disini, nggak pergi kemana-mana. Gue justru menghabiskan bulan demi bulan untuk mencarinya. Gue berusaha, tapi dia nggak pernah mencoba untuk menghargai itu.

Kita emang bukan lagi dua anak SMA, dan lima tahun adalah sebuah proses pendewasaan. Tapi gue, gue masih Fran yang dulu. Fran yang jatuh cinta dengannya, Fran yang menyayangi dia. Apa yang beda? Gue nggak paham satupun penjelasannya dan nggak tahu dimana letak kesalahan yang membuat dia pergi.

Apa gue sempat membuatnya sakit hati? apa gue pernah melakukan sesuatu yang buruk ke dia? Kalaupun jawabannya iya, kenapa dia nggak langsung mengatakannya? Kenapa dia seperti menyembunyikan alasan yang sebenarnya?

Gue melangkah menuju mobil, masuk, dan membanting pintunya dengan keras. Emosi sudah mereda sedikit demi sedikit. Gue sudah bisa bernafas normal, dan menahan diri. Sekarang, amarah yang tadinya menyelimuti gue digantikan sebentuk kekecewaan. Juga perasaan bersalah.

Gue menghela napas. Mungkin seharusnya gue nggak seperti itu di depan Karin. Iya gue kesal, gue kecewa, tapi biar bagaimanapun juga, guelah orang yang mengajaknya kesini. Gue yang membawa kembali masa lalu dan mengulang segala kenangan itu. Gue nggak sepatutnya menjadi pengecut dan meninggalkannya.

Kalaupun seandainya, setelah pulang darisini gue dan dia balik menjadi dua orang asing yang membenci satu sama lain, gue nggak keberatan. Gue nggak keberatan karena memang itulah yang sepatutnya kami lakukan. Dia sudah melupakan gue, dan gue harus melanjutkan hidup tanpanya. Jadi buat apa berharap bahwa hubungan itu akan kembali? buat apa susah-susah menunjukan ke dia kalau perasaan gue masih sama?

Gue mengambil sebotol air dingin dari laci dashboard kemudian menegaknya sampai habis. Setelah menenangkan diri sebentar, gue keluar dari mobil. Gue harus mengakhiri ini semua dengan Karin, dan meskipun kita harus berpisah, gue ingin kali ini, kita berpisah baik-baik.

Gue berjalan melewati karang, dan gerimispun tiba-tiba turun. Gue mencari siluet Karin yang seharusnya masih berada di pantai. tadi dia duduk diatas sebuah batu, namun sekarang sosoknya hilang entah kemana. Gue mulai panik karena nggak bisa melihat jelas oleh kacamata yang dihalangi bulir air.

Ketika gue memanggil namanya, dan nggak ada suara yang menjawab, kepanikan itu bertambah. Gue segera mencari ponsel di balik saku celana, tapi nggak menemukannya. Lalu gue ingat bahwa benda itu tertinggal di dalam mobil.

Gue berjalan ke bibir pantai, masih memanggil namanya, gue terus menatap ke laut lepas sehingga nggak terlalu memperhatikan ke bawah. Ketika gue menunduk untuk mencari-Karin, gue menemukan gadis itu terbaring di samping sebuah batu. Wajahnya benar-benar pucat dan bibirnya biru.

Gue segera mengangkatnya, seluruh diri gue dipenuhi rasa panik yang menyerang. Saat gue sampai di mobil, gue membaringkannya dan segera menyalakan mesin.

Gue harus pergi dari tempat ini.

***

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang