Chapter 15

255 12 0
                                    

Fran's point of view

_______________

Karin bersandar di bahu gue, masih sesugukan karena menangis. Dia tampak begitu rapuh dan letih. Kedua matanya merah sembab, wajahnya pias. eskpresinya kosong. Dia seperti tersedot ke dalam masa lalu.

Gue tidak mengatakan apa-apa. Tidak ingin merusak hening ini, tidak ingin memperburuk suasana. Satu-satunya hal yang gue lakukan untuk menenangkannya adalah mengelus puncak kepala gadis itu. Membelai rambutnya lembut, seperti dulu.

Gue ingin memeluknya, ingin mengatakan maaf sebanyak mungkin asal dia berhenti menangis. Gue nggak tahan melihat airmata jatuh di pipinya, nggak bisa memandang kedua bahu mungil itu terguncang. Gue merasa bersalah.

Mungkin gue cowok terbrengsek yang pernah dia kenal, karena datang tiba-tiba dan merusak hidupnya. Mungkin gue seharusnya berpura-pura melupakan, membiarkan masa lalu tetap menjadi masa lalu dan menyimpan segala kenangan itu.

Tapi gue akan lebih brengsek jika membohongi diri sendiri, gue akan lebih jahat jika tidak menunjukan perasaan ini. Iya, gue tahu dia sudah melanjutkan hidupnya tanpa gue. Tapi apa salah jika gue hanya ingin jujur? Apa salah jika gue ingin dia mengerti?

Film itu adalah sebuah jawaban yang menjelaskannya bahwa perasaan gue nggak pernah berubah. Gue menyayanginya, dulu, sekarang, nanti. Meski gue pernah percaya bahwa sebentuk cinta lain akan datang dalam hidup gue dan menggantikan posisinya, tapi selama gue menunggu, hati gue nggak pernah berpaling. Selalu dia, dan akan terus dia.

Gue merencanakan film itu sejak dua bulan sebelum ulang tahunnya. Gue nggak tahu mau ngasih apa, karena Karin bukan tipe cewek yang suka hadiah. Gue ingin memberinya sesuatu yang akan dia ingat sampai nanti. Sesuatu yang bukan hanya diukur dari uang, tapi usaha untuk membuatnya.

Semasa SMA, gue pernah punya sebuah camcorder lama yang usang. Gue menemukannya di gudang suatu waktu, dan memutuskan untuk menyimpan benda itu. Gue sebenarnya mulai suka film sejak SMP, namun baru kali itu gue mencoba membuat satu untuk Karin.

Gue nggak tahu apa-apa soal teknik merekam, apalagi alat yang gue gunakan adalah barang jadul, jadi gue memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan film itu. Gue mencari waktu senggang untuk mengambil gambarnya. Gue mengumpulkan potongan-potongan video itu, dan menambahkan suara gue sebagai narator. Gue ingin film itu terlihat sederhana, namun menghanyutkan. Seperti dirinya.

Selama dua bulan, gue membawa camcorder itu kemana-mana. gue berusaha menangkap momen yang bagus ketika lagi bersamanya. Dia tahu gue suka merekam, but she had no idea about that surprise present.

Pada akhirnya, gue hanya mengambil tiga tempat yang menjadi lokasi film tersebut. perpustakaan, kedai kopi langganan kami, dan Carita. gue ingin menjadikan dia fokus dalam film itu, jadi gue memilih untuk menonjolkan karakternya dan tempat-tempat kesukaannya.

Film itu pendek, berantakan, dan nggak punya alur. Mungkin bagi orang lain itu cuma penggalan-penggalan video nggak penting yang dijadikan satu. Tapi bagi gue, film itu menggambarkan perasaan ketika bersamanya. Film itu menunjukan pada Karin, bagaimana cara gue menyayanginya.

Namun, kita tidak tahu kapan hidup menjungkir balikkan segalanya. Kita tak pernah punya petunjuk bagaimana akhir dari sebuah cerita. Hidup selalu memberikan kejutan, terkadang mengangkat ketika kita dibawah, terkadang juga menjatuhkan. Dan kita tak pernah bisa menolak.

Gue baru berniat memberikan film itu ketika malam sebelum ulangtahunnya. Berhari-hari gue mempersiapkan diri, menduga bagaimana reaksinya nanti. Tapi ketika hari itu tiba, dia menghilang.

Ulangtahunnya berjarak seminggu setelah liburan kami ke Carita. Selama disana, dia tampak begitu bahagia. Dia tidak berhenti menatap gue dan tersenyum. Dia tidak menunjukan apapun selain kegembiraannya.

Namun saat gue mengetuk pintu rumahnya hari itu, tidak ada orang di dalamnya. Tidak ada Karin. Tidak ada siapa-siapa kecuali tumpukan kardus yang berisi perabotan sisa. Gue nggak mengerti bagaimana bisa dia yang kemarin masih duduk di samping gue, kini pergi tanpa kabar.

Gue nggak menemukan apa-apa disana. Nggak ada surat, nomor telepon yang harus di hubungi, atau benda yang menunjukan kemana dia pergi. Gue sempat bertanya pada tetangga-tetangganya, tapi mereka juga tidak tahu apa apa.

Saat itu, gue berusaha untuk menghubunginya. Gue mendial nomor Karin ratusan kali, namun tidak ada satupun yang dijawabnya. Gue mencari tahu ke teman-temannya, bahkan ke pihak sekolah, tapi tetap, gue nggak menemukan alasan dia pergi.

Dia meninggalkan gue, begitu saja. as simple as that.

Selama beberapa bulan, hidup gue hancur karena dia. Gue tunda masuk universitas untuk mencari dia. Gue dikucilkan keluarga, dan terpaksa ngekos agar bisa bebas dari pertanyaan mereka. Gue berantakan tanpa dia.

Saat itu gue merasa seperti orang tersesat. Yang nggak tahu mau kemana, yang bingung harus berbuat apa. Gue kosong. Dan segimanapun gue berusaha untuk bangkit, gue selalu menyerah pada akhirnya.

Mungkin itulah yang membuat gue kembali menjadi orang introvert lagi. Sakit hati itu yang menumbuhkan perasaan benci, dan membuat gue nggak percaya bahwa ada cinta yang lain.

Ya, gue sempat kembali menjadi Fran yang dulu. Gue nggak pernah ngomong lagi sama teman semasa SMA, gue tutup rapat-rapat kisah gue dengan Karin. Gue kembali menjadi robot tanpa perasaan.

Hingga akhirnya, suatu hari, gue mulai sadar. Bahwa hidup sesungguhnya bukan hanya tentang bahagia. Hidup bukan dongeng, yang selalu berakhir magis. Bukan fiksi dalam novel yang biasa dibaca Karin. Gue sadar bahwa terkadang, ada saatnya kita merelakan. Membiarkan hidup berjalan seperti seharusnya, dan meninggalkan masa lalu yang hanya akan menjadi cerita.

Gue menatap Karin, yang ternyata sudah memejamkan mata. Dia tertidur karena lelah menangis dan kedinginan. Gue menyelimutinya dengan sehelai kain perca dan membawanya ke mobil. Dia harus istirahat, gue ingin kembali melihat senyumnya.

Ketika gue membaringkannya di atas jok mobil, gue dapat melihat noda bekas airmata di pipinya. Gue mengelap noda itu dengan jari, kemudian mencium puncak kepalanya.

"I love you, Rin. Always will, always be."

Gue berbisik di balik telinga gadis itu dengan suara lirih, berharap dia mendengarnya dan mengerti.

Mengerti bahwa gue nggak akan membiarkannya pergi lagi. Karena bagaimana pun, gue nggak mau kehilangan dia untuk kedua kali.

***

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang