Chapter 23

214 8 0
                                    

Karin's point of view

________________

Tempat ini pengap bukan main. bau obat-obatan menguar di seluruh ruangan, membuat sesak suasana. Aku duduk di kursi tunggu, sendirian, dengan sebuah map besar yang kupeluk. Seorang suster berdiri di sebelahku, sesekali melempar senyum simpati. Aku membalasnya dengan kaku, berharap semua ini berjalan lebih cepat karena aku tak mau lagi menunggu.

Ponsel di balik tasku tiba-tiba bergetar, membuatku sedikit terkejut. Aku mengambilnya dan menemukan sebuah pesan singkat dari Maya.

Gue di lobi depan, sampai jam berapa?

Aku terdiam, lalu mulai mengetik.

Kurang tahu, belum ada panggilan. Nanti kalau selesai gue telepon.

Aku mengirimnya, kemudian selang beberapa detik, Maya memberi jawaban.

Lo yakin nggak mau gue temenin, Rin?

Aku menatap layar ponsel lebih lama, berpikir bahwa memang seharusnya aku kesini bersama Maya. Setidaknya dia bisa membuatku lebih tenang. Dan keberadaanya mungkin membuat tempat ini tidak terasa begitu menakutkan. Tapi sudahlah, aku tak mau menyeret Maya dalam masalah ini. Lagipula dia sudah begitu banyak membantuku.

Nggak usah, gue bisa sendiri kok. doain aja.

Aku mengirimnya, berharap dia tidak tersinggung karena aku selalu menyembunyikan diri seperti ini. Syukurnya, Maya mengerti. dia langsung membalas dalam beberapa detik.

Oke, kalau gitu gue tunggu di Kafetaria bawah ya. Good luck, Rin.

Aku tersenyum membacanya, entah kenapa kata-kata itu membuatku merasa lebih baik. Setidaknya Maya dapat memahami keadaanku sekarang.

Ketika baru ingin mematikan ponsel, tiba-tiba Maya kembali mengirim pesan. Aku membacanya, dan tertegun sebentar.

Everything's will be fine, Rin. Trust me :)

Aku terdiam, mengulang kalimatnya. Maya adalah satu-satunya orang yang begitu optimis terhadap ini semua. Dia tidak takut dan tidak membuatku merasa terintimidasi seperti oranglain. Dia selalu ada ketika aku butuh, meski kadang aku menolak bantuannya. Dia sosok sahabat, yang bahkan lebih peduli terhadap orang lain daripada dirinya sendiri.

Aku tersenyum, berterimakasih padanya.

Thanks, May. I'm hoping for the best possibilities.

Aku mengedarkan pandangan pada jalan koridor yang sepi. Tiba-tiba merasa lemah dan takut. Kumatikan ponsel dan kembali menyimpannya di balik tas. Aku terus menunggu, duduk diam disana sampai akhirnya seorang dokter keluar dari ruangan.

"Karina Anindita?"

Seorang lelaki paruh baya memanggil namaku. Aku berdiri, jantungku berdegup dua kali lebih cepat. Dalam hati, aku mengulangi ucapan Maya.

Everything's will be fine.

Aku ingin mempercayai kata-kata itu.

***

Fran's point of view

_______________

Gue mengambil jaket dari bagasi mobil, lalu menutup pintunya dan berjalan ke lobi rumah sakit. Malem ini, ada satu lagi shift yang harus gue kerjakan. Meski pikiran lagi nggak fokus, gue terus paksain diri. Gue nggak mau Karin kembali menghancurkan apa yang sudah gue bangun dari dulu.

Koridor lobi lumayan ramai oleh orang-orang yang sedang menunggu. Gue sedang berjalan melewati resepsionis ketika tiba-tiba Siska, salah satu asisten dokter memanggil gue.

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang