Chapter 17

238 7 0
                                    

Karin's point of view

________________

Langit kini kelabu. Awan hitam bergerumul di angkasa, seperti ikut menyalahkanku. Fran sudah pergi entah kemana. Mungkin pulang karena tak ingin melihatku lagi. Aku tahu dia sudah lelah mengejar sesuatu yang takkan kembali padanya. Aku paham gejolak emosi itu, yang berusaha dia sembunyikan karena tak ingin aku terluka.

Mungkin memang benar, aku adalah yang paling egois diantara kami berdua. Aku meninggalkannya, pergi begitu saja tanpa pamit seolah hubungan yang kami miliki dulu bukanlah apa-apa. Aku tahu itu, aku sadar. Tapi jika dia tahu apa alasanku, dia akan mengerti bahwa selama ini yang kulakukan adalah untuk menjaganya. Aku pergi untuk menyelamatkannya.

Film itu, segala yang dia tunjukan padaku, adalah umpan untuk memojokkanku. Dia pikir aku sudah melupakannya dan menganggap semua cerita kami adalah masa SMA yang tak perlu lagi diingat. Mungkin dia kira aku sengaja meninggalkannya.

Tapi aku tak pernah menyangka dia membuat film itu. Selama yang kutahu, Fran bukanlah tipe cowok romantis yang memberikan kado spesial atau sebuah kejutan. Baginya romantis itu, pergi berdua ke toko buku, duduk di coffee shop sambil mengerjakan tugas, atau membawakan barang-barangku. Fran hampir tak pernah memberiku buket bunga atau lirik lagu cinta, jadi ketika aku tahu dia berusaha untuk memberiku film itu, aku terkejut.

Aku terkejut bukan karena isinya. Dulu, sewaktu kami masih sering menghabiskan waktu bersama, Fran selalu membawa camcorder jadul itu dan berusaha merekamku. Dia sembunyi-sembunyi mengambil gambar ketika aku tengah membaca buku di perpustakaan, atau ketika aku lengah. Tapi yang tak pernah kusangka adalah, dia mengumpulkan potongan video itu dan menggabungkannya menjadi sebuah film untuk kado ulangtahunku.

And I'm completely had no idea what it was.

Semalam, ketika melihat lagi penggalan film itu, aku tak bisa mengatakan apa-apa. Ketika melihat refleksi ku, yang berupa seorang gadis SMA, duduk bersamanya dan tersenyum, membuat luka lama itu kembali terbuka. Aku kehilangan kata-kata.

Aku melihat bagaimana usaha Fran menyembunyikan kejutan itu hingga ulangtahunku, bagaimana ketulusannya saat bicara di balik kamera, dan itu semua membuatku tiba-tiba membenci diriku sendiri karena memilih untuk pergi meninggalkannya. Film itu benar-benar bukti bahwa selama ini, akulah yang lebih menyakitinya.

Aku yang menyianyiakan kasih sayangnya, dan akulah yang menjadi pengecut pada akhirnya.

Tapi ketika aku kembali lagi pada alasan mengapa aku memilih pergi, aku tahu, keputusanku waktu itu tidak salah. Dia memang seharusnya melupakanku, dan melanjutkan hidup tanpa menoleh pada masa lalu. Aku sudah benar.

Karena, jika dia tetap disini bersamaku, aku akan terus menyakitinya dan luka itu takkan pernah sembuh sampai kapanpun.

Aku menahan diri untuk tidak kembali menangis. Nafasku sudah tak beraturan, dan aku harus tenang agar sesaknya tidak bertambah parah. Kupejamkan kedua mata dan berusaha melupakan. Namun semakin kuat aku mencoba, semakin sakit rasanya.

Aku ingin menghilangkan bayang-bayang Fran dan ucapannya tadi. Tapi rasanya sulit, karena di tempat ini juga, dulu aku berjanji untuk tidak pernah meninggalkannya. Sekarang aku berdiri disini, menangis di hadapan laut dan langit kelabu karena kesalahanku sendiri. How pathenic, I am.

Gerimis tiba-tiba turun, seperti membenarkan hal itu. Aku mengadah, merasakan rinainya jatuh ke bawah seperti airmata. Hari ini, hujan tidak membawa perasaan tenang seperti seharusnya. Tapi hujan menemaniku, dan menangis bersamaku.

Aku membiarkan semua meluap menjadi satu. Kemarahan, kekecewaan, perasaan bersalah. Aku menangis sejadi-jadinya hingga tak bisa bicara. Aku ingin menunjukan pada Fran, bahwa semua takdir ini juga menyakitiku, bukan hanya dia.

Satu teriakan tak bersuara keluar dari mulutku, pelampiasanku terhadap semuanya. Ketika akhirnya aku berhenti terisak, aku merasa nafasku habis dan dadaku sesak. Aku berjalan terhuyung lalu jatuh diatas pasir. Terbaring menatap laut, dan hujan yang semakin deras.

Kemudian, yang kulihat setelah itu hanya gelap.

Gelap gulita.

***

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang