Chapter 24

220 9 1
                                    

Maya's point of view

________________

Sepiring chicken salad itu tergeletak begitu saja di atas meja, tidak tersentuh sejak aku memesannya tadi. Kafetaria ini sudah mulai sepi pengunjung, satu demi satu dari mereka keluar. Menyisakan beberapa meja yang masih diisi para pegawai dan ibu-ibu. Aku mengambil tempat duduk persis di samping konter, posisi yang sekarang kusesali karena orang lain sering melihat kemari.

Aku melayangkan pandangan berkali-kali ke layar ponsel yang menyala. Menunggu jawaban Karin untuk memastikan berapa lama lagi aku harus berada disini. Aku serius benci rumah sakit sejak dulu, jika bukan karena terpaksa aku tak pernah ingin menginjakkan kaki disini. Bau obat-obatan dan antiseptik, dokter yang memakai masker, atau jalan koridor yang sepi membuat tempat ini terasa mengintimidasi.

Beberapa hari belakangan, kondisi Karin memburuk. Dia semakin jarang makan dan bertambah kurus. Berat badannya turun dalam waktu singkat, kantung matanya menghitam, dia terlihat jauh lebih muram. Seharian ini dia hanya tidur di ranjang, menyelimuti diri tanpa menyentuh sedikitpun laptop atau jurnalnya.

Aku kemarin datang ke apartementnya untuk mengecek deadline naskah yang sudah harus selesai akhir minggu ini. namun begitu sampai disana, bukan naskah yang didapat, aku malah menemukan Karin terbaring lemah di kasur lipatnya. Tampak sangat rapuh di balik gaun tidur yang kebesaran.

Aku memutuskan untuk menginap disana dan menemaninya karena dia hanya tinggal sendirian. kedua orangtua Karin masih di Australia. Mereka baru pulang akhir tahun dan tidak tahu sama sekali mengenai keadaan putrinya sampai sekarang. Aku sempat memaksa Karin untuk memberitahu mereka, tapi gadis itu terlalu keras kepala.

Tadi pagi, Karin membuat janji dengan seorang dokter spesialis disini. Katanya, dia harus melakukan pengecekan ulang dan rogten yang berkala untuk tahu penyebab penurunan kondisinya. Syukurnya hari ini dia tidak ada jadwal meeting dengan siapapun, jadi dengan mobilku akhirnya kami berangkat.

Karin tidak mau ditemani selama di ruangan dokter, entah kenapa tapi katanya dia bisa sendiri. Aku awalnya meragukan, tapi sekali lagi karena gadis itu keras kepala, akhirnya aku mengalah. Biarlah dia menentukan keputusannya, aku tak mau terlalu ikut campur.

Sejak pertama kali bertemu Karin, aku berpikir bahwa dia adalah a faithful yet innocent girl. Kami berkenalan tiga tahun lalu, ketika proses editing novel pertamanya yang sekarang jadi bestseller. Waktu itu aku masih cewek arogant, yang kerjaannya menagih naskah, revisi, dan mengejar-ngejar orang. Aku yakin Karin agak takut karena penampilanku dan segala macam desas desus yang tersebar. Banyak yang bilang aku editor paling nggak punya perasaan, yang selalu mencari kesalahan penulis persis seperti dosen pembimbing skripsi. Karin mempercayainya dan hal itu membuatku semakin berpikir bahwa dia seperti gadis lain, lembek dan mudah rapuh.

Rentang usia kami terpaut jauh, lima tahun. Itu yang membuatku lama kelamaan menganggapnya sebagai adik perempuan. Kami awalnya memang sulit menyatukan pikiran, dia adalah gadis pemimpi yang dari dulu mungkin dicekoki cerita upik abu dan pangeran. Sedangkan aku, aku bukan orang yang begitu saja percaya akan kebahagiaan.

Kami susah bersatu. Sering beradu pendapat mengenai ini-itu. Terkadang ada saat dimana kami sama sama lelah karena selalu beragumen. Aku sering mengkritik naskahnya yang kelewat klise, dan dia menyangkal karena menurutnya memang sudah seharusnya fiksi begitu. Awalnya memang agak sulit bagi kami untuk saling mengerti dan berusaha membedah naskah itu agar menjadi karya yang baik. Tapi akhirnya, seiring dengan waktu yang berjalan, aku dan Karin mulai menghabiskan kegiatan bersama. Dari pergi minum kopi sampai belanja. Banyak yang bilang kami seperti air dan minyak dalam sebuah gelas, tidak menyatu tapi saling menemani.

Together with The SundownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang