Banyak hal yang terlalu pusing untuk dipikirkan saat ini di dalam pikiranku. Meskipun pagi ini mentari sangatlah bersahabat dengan para insan dunia, namun tetap saja aku tidak terlalu merasakan sebaik itu.
Masalah yang kian datang silih berganti berkunjung ke dalam cerita hidupku.
Entahlah apa yang harus aku lakukan setelah ini. Menghentikan semuanya ataukah aku akan melanjutkan segala hal yang sudah terlanjur terjadi.
Takdir... ya Sang Maha Pencipta sedang menunjukkan kuasa-Nya yang begitu besarnya kepada para hamba-Nya.
Aku sangat kecil ya Allah... Aku terlalu sangat kotor jika harus berhadapan untuk melihat ke belakang, betapa luasnya kekhilafan yang telah aku lakukan selama ini.
Aku sejenak bersimpuh di hadapan-Nya. Air mata tak mungkin lagi dapat terbendung dengan nyaman. Seketika semuanya datang begitu cepat menyisakan kesedihan yang tiada akhirnya.
Pipiku mulai basah dibuatnya. Tak ada kata lain, selain "Takut" yang saat ini menghampiri jiwa dan perasaanku.
Aku takut ya Allah. Bantulah aku atas masalah ini. Jagalah aku dari segala rasa ketakutanku. Aku punya Engkau ya Allah.
Aku sangat yakin aku bisa, aku mampu untuk menghadapi ini semua dengan segala kekuatan yang Engkau berikan untukku.
"Hei..." teguran abangku membuatku terkejut.
"Abang..." jawabku dengan sangat lemas.
Tanpa aku sadari bahwa itu adalah abangku yang selama ini tinggal di asrama militer. Ia yang tanpa memberi kabar tiba-tiba pulang dan langsung menengok keadaanku, adiknya yang memiliki luka terpendam.
Abangku yang memiliki nama lengkap Adrian Muhammad Bagaskara, yang lebih aku sering panggil dengan sebutan bang Adri itu malah memutarkan bola matanya.
Alis matanya yang sangat tebal itu juga mulai naik bergantian seolah tak mengerti dengan apa yang tengah terjadi denganku saat itu.
Bang Adri pun mencolek pundakku secara perlahan. Memberi sedikit kode bahwa kakaknya yang jauh di seberang sana telah kembali untuk menengok sang adik.
Aku pun menoleh. Aku baru sadar bahwa aku dicolek oleh laki-laki yang paling aku sayang setelah papah.
"Bang Adri..." badanku pun refleks memeluk abangku satu-satunya itu. Laki-laki yang tidak pernah menyakitiku kedua setelah ayah. Laki-laki yang mati-matian membuat aku dan keluargaku selalu bahagia.
"Ihh... baru sadar kamu? Abang udah disini udah sekitar 2 abad yang lalu Dry..." kata abangku sambil melihat keluar arah balkon kamarku.
Dry... ya abang memang lebih menyukai jika memanggilku dengan sebutan Drya. Karena nama lengkapku Diandrya Asfyma Bagaskara.
Meskipun aku lebih dikenal dengan sebutan Asfy, tetap saja abangku selalu memanggilku dengan sebutan itu.
"Abang kapan sampe Jakarta deh? Ko enggak bilang-bilang sama aku? Kan biar aku bisa jemput di Bandara," kataku menghampiri bang Adri.
"Jemput? Sok banget mau jemput abang di bandara, kamu aja di telepon enggak aktif. Pas aku telepon ke rumah, yang angkat bi Inem. Trus kata bi Inem kamu lagi enggak mau diganggu juga... Sok sibuk banget.. Memang jabatan kamu apa dikantor? Sampai sesibuk itu melupakan abang sendiri."
Bang Adri pun merajuk. Tak mengerti aku mengapa dia jadi begitu manja setelah kembali kerumahnya sendiri. Aku pun sekuat tenaga merayu bang Adri agar mau memaafkan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketulusan Hati Drya (SETENGAH DI UNPUBLISH)
Spiritual(DONE - PRIVATE) Tidak ada satupun alasan untuk aku tidak bersyukur hari ini. Memiliki seorang kakak sebagai abdi negara dan adik laki-laki yang tengah merampungkan pendidikan kedokterannya, menjadikanku wanita yang selalu merasa bahagia. Menurutku...