Aku masih tidak bisa menahan tawa, cowok di samping ku ini memang sangat anehㅡmaksud ku bukan dia yang aneh, tapi namanya. Langit? yang benar saja ada orang dengan nama seperti itu.
Diaㅡmaksud ku Langit, masih menatap ku sinis dan ia terlihat gusar 'lo bisa berenti ga' kata-kata itu seperti terpampang jelas di jidatnya, entah sudah berapa menit aku menertawakan namanya, aku menjeda sebentar kemudian menarik nafas, berbalik ke arahnya dan tertawa lagi, berlebihan memang.
"Gue tau nama gue aneh, tapi lo bisa nyadar ga sih? nama lo juga aneh tau! apa-apaan biru" ucapnya tak mau kalah, mungkin sudah menyerah melihat tawa ku yang tak henti-hentinya
Aku berhenti, berusaha serius "Ya kita bisa buat perkumpulan orang-orang dengan nama aneh kalo gitu"
Langit tersenyum sekilas, lesung pipitnya terlihat jelas, headshet masih setia menempel di telinganya, seolah mendengar musik, tapi malah meladeni perkataan ku.
"Kenapa nama lo Biru?" tanyanya sambil memandang ku penuh tanya, aku sempat melihat manik matanya tapi segera menghindar, mata Langit terlalu tajam, dalam, aku takut jatuh ke dalamnya
Aku memperbaiki posisi ku, melihat keluar jendela pesawat dimana langit Biru masih mendominan disana "Karena Biru bagus, itu kata nyokap gue"
Langit mengikuti arah pandangan ku "Lo benar, biru itu warna yang indah"
Aku segera balik kearahnya dan mendapati ia tengah memandang kuㅡmaksud ku ke arah jendela pesawat "Wait, sejak kapan kita sependapat?"
"Se-pendapat? bukannya yang bilang biru itu bagus nyokap lo? bukan lo kan? yah jadi gue sependapat ama nyokap lo bukan lo"
Baru beberapa detik saja suasana antara aku dan Langit mencair dan lihat? kini ia sudah mengibarkan bendera perang kembali. Aku memandangnya sinis dan dia memperlihatkan senyum kemenangan
"Pantas nama lo Langit" ucapku
"Kenapa emangnya?"
"Gaya lo setinggi langit!" Aku lagi-lagi tertawa bersamaan dengan senyum Langit yang memudar
Langit mendengus kesal, cowok ini sangat tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya, saat ia kesal itu akan sangat terlihat jelas dari wajahnya "Kalau sekarang gue lagi di angkot yang bisa turun seenaknya, mungkin gue udah turun daritadi"
"Tapi kita bukan lagi di angkot, Langit. Kita lagi di Langit. See?" ada penekanan dari setiap kata yang ku ucap, tak lupa jari telunjuk ku yang mengarah ke jendela pesawat
"Gue kan bilang 'kalau', lo tuli apa gimana? makanya cerna perkataan gue dulu" balas Langit berusaha mempertahankan argumen
Aku diam, bukannya tak punya bahan perdebatan lagi, tapi sejujurnya telinga ku merasakan tegangan dari pesawat. Aku meringis dan mencoba menekan-nekan telinga ku, hal ini sudah sering terjadi jika dalam perjalan udara, tapi tetap saja ini menganggu.
Aku lupa membeli permen dan itu merupakan suatu hal yang fatal bagi ku jika sedang naik pesawat. Langit merogoh saku celana jins panjangnya dan memberikan ku dua buah permen karet, aku memandang pemberiannya penuh selidik.
"Daripada telinga lo sakit" ucapnya lebih mengarah ke pertanyaan
Aku mengambil semua permen yang ada di tangannya, berusaha melihat lebih jelas "Ini bukan permen bius' kan? nanti gue kenapa-napa lagi"
"Rakus banget, ambil satu aja kek, malah diambil dua-duanya" jawaban Langit melenceng dari perkataan ku barusan
Lagi-lagi aku meringis "Gue lagi ga minat debat ama lo sekarang" aku membuka satu permen karet yang Langit berikan dan segera memakannya
"Kok langsung dimakan? gue belum jawab loh itu permen apaan"
"Ah bacot" jawabku sambil memejamkan mata, lagipula tampang songong dan sok cool seperti Langit bukanlah tampang kriminal, malah yang terlihat alim dan baik-lah yang sekarang mencurigakan.
"Oiya, lo belum kasi tau gue kenapa lo naik pesawat sendiri? lo sendiri kan?" tanya ku memulai pembicaraan setelah telinga mulai membaik danㅡsejujurnya aku tidak bisa berlama-lama diam tidak berbicara dengan Langit, entah mengapa masih banyak yang ingin aku tahu tentangnya
"Hm?" ia berbalik mengangkat alisnya dan demi tuhan, ekspresi Langit yang ini sanggup membuat ku menegang di tempat. Alisnya yang tebal terangkat dan matanya memandang ku dan tepat sasaran bertemu dengan pupil ku
Ada jeda sebentar sampai aku bisa tenang dan berusaha menarik diri dari Langit, butuh tiga detik mungkin "Aish, makanya headshet lo buka dong ih" protes ku
"Bicara aja, gue tau kok lo ngomong apaan" ucapnya mengalihkan pandangan ke depan dengan kepala yang bersandar di jok kursi pesawat
Dengan refleks aku mengambil headshet sebelah kanan Langit dan menaruhnya di telinga ku, ia tampak kaget, dan lagu Photograph dari Ed Sheeran terdengar jelas.
"Apaan sih, gue denger kok" Langit merebut headshetnya dan menaruhnya di telinga seperti semula
"Ih photograph! gue suka lagu Ed yang itu, bagi dong, bagi" tanpa persetujuan empunya, aku menarik kembali headshet yang ku ambil tadi dan menaruhnya di telinga ku
"Ganggu banget sih lo" Langit mengambil barangnya kembali dan alhasil terjadi insiden tarik menarik, tapi akhirnya cowok itu mengalah, kami berbagi headshet
"Lo belum jawab pertanyaan gue tadi" ucapku
"Yang mana" jawab Langit singkat
"Ah lupaiin, musiknya terlalu enak, gue malas ngomong" jawabku masih dengan mengunyah permen karet pemberian Langit yang tadi
Langit hanya diam, seakan larut dengan musik yang kami berdua dengar, sepertinya photograph adalah lagu favorit Langit, terlihat dari raut wajahnya yang begitu seriusㅡbukan raut wajah, tapi wajah Langit memang serius seperti itu. Kalau cowok di sebelah ku ini bisa membaca pikiran ku saat ini aku tidak yakin bisa pulang ke Bandung dengan selamat.
Aku melirik jam tangan di pergelangan tangan kiri ku, tidak sampai sejam aku akan mendarat di Bandung, tampak langit biru mulai berganti warna karena senja yang perlahan menampakkan dirinya. Langit senja ini sangat indah.
ו×
Sorry for late update:( kalau ada waktu dan ide pasti dilanjut kok. Vote dan komennya jangan lupa ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Biru
Short Story[16/16 END] Apa jadinya berada dalam satu pesawat dengan cowok bernama Langit, cowok yang senang memberi tatapan intimidasi dan melontarkan kalimat menyebalkan. Bagi Biru, hari dimana ia berpisah dengan Langit adalah hari terindah dalam hidupnya, at...