Lagu photograph yang kami dengar baru saja berganti, berganti kembali menjadi lagu beraliranㅡentahlah aku tak tahu pasti, tapi sepertinya ini lagu The Beatles. Aku berbalik ke kiri dan Langit tengah bersandar pada jok kursi pesawat dengan mata yang tertutup, tidak ada yang tahu dia tengah tertidur atau hanya menutup matanya. Tapi apapun itu, lebih baik jika ia seperti ini, diam, dan tidak memandangku dengan tatapan yang aneh, maksudku aku tidak suka tiap kali Langit mencoba menerka sesuatu lewat mataku, seolah mataku adalah tembok yang ingin ia runtuhkan.
Aku melepas headshet di sebelah kiri ku karena musik yang sekarang sama sekali tidak menarik, aku melepasnya begitu saja dan memperbaiki posisi ku, sedikit menjauh se-per sekian senti dari Langit.
Aku diam, dan pada detik berikutnya kembali menatap Langit yang masih menunjukkan posisi yang sama, tapi kabar baiknya adalah, si bapak yang sedari tidur sejak awal penerbangan sekarang sudah tersadar dan membaca majalah yang disediakan di hadapan setiap penumpang.
Permen karet yang Langit berikan tadi masih aku kunyah, sesekali membuat gelembung lalu mengunyahnya kembali, rasanya makin hambar dan tidak enak. Aku mengambil tas ransel yang sedari tadi ada di bawah kaki ku, mencari kertas atau tisu yang dapat aku gunakan untuk membuangnya.
"Buangnya pas nyampe aja" gerakan ku melambat dan akhirnya berhenti, lalu berbalik ke sumber suara mendapati Langit, masih dengan posisi yang sama tapi aku yakin itu adalah suaranya
"Woi bukannya lo tidur yah? lagian tau darimana gue mau buang permen karet?"
Langit membuka matanya dan mengubah posisinya seperti semula, tangannya menyapu seluruh rambut yang menurutku lumayan panjang untuk ukuran siswa laki-laki di sekolah, ia merapikannya kemudian memandang ku, aku berusaha kembali sibuk dengan ransel yang ada di tangan.
"Yang nutup mata ga selamanya lagi tidur" ucapnya
"Ga tidur ya? mati kalau gitu" balas ku acuh setelah menyerah karena tidak menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk membuang permen karet hambar yang masih setia di mulutku
"Sialan" ia tertawa sekilas hanya tiga detik, mungkin?
Aku kembali menaruh ransel ku dengan kesal "Lo punya tisu ga? kertas atau apa gitu" ucapku melihat ke Langit yang tengah menanggalkan headshetnya
"Gaada" jawabnya singkat "Kan udah gue bilang, buangnya pas nyampe aja. Ga denger?"
Aku memandang Langit penuh kesal "Permen karet hambar ga enak disimpan-simpan ih"
Langit balik menatap ku "Kenapa ga lo buang di wc aja sih? kan ada tempat sampah disana, bego" ucapnya dengan penekanan pada kata terakhir
"Ah mager" jawab ku singkat masih mengunyah permen karet
"Pantas badan lo pendek, malas gerak sih"
"Sok tau ih! gaada hubungannya tau!" elak ku
"Ada lah, malas gerak berarti malas olahraga juga, makanya lo pendek"
Aku diam, malas berdebat, seolah tidak mendengar perkataan Langit barusan, lagipula aku pendek karena gen dari Ayah Bunda, bukan karena malas olahraga, dasar sotoy.
"Lo tau ga" Langit menjeda "Terkadang gue gamau jadi permen karet, Disaat lo udah ga butuhin dia, lo bakal ngebuang dia gitu aja"
Aku mendecih mendengar perkataan Langit yang terdengar seperti bocah tengik di kelas ku yang galau merana saat baru saja diputus cinta, menyedihkan. Bersamaan dengan itu, suara pramugari terdengar di seluruh penjuru pesawat, beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandar Udara International Husain Sastranegara. Penumpang diinstruksikan untuk mengenakan sabuk pengaman. Ah syukurlah, tidak lama lagi aku akan terbebas dari orang menyebalkan di samping ku.
"Alhamdulillah bentar lagi nyampe" ucapku sambil memasang sabuk pengaman dan melirik Langit seperti memberi kode 'bentar-lagi-bisa-bebas-dari-lo'
"Bentar lagi bisa bebas dari lo" ucap Langit yang membuatku kaget, cowok ini punya indra keenam atau bagaimana? ia seperti bisa membaca pikiranku
"Yang ada juga gue yang bilang gitu!" protes ku
"Bilang aja, gaada yang larang 'kan?"
Aku menarik napas panjang berusaha meredam emosi, tenang Biru, bentar lagi juga sampe kok, batin ku.
Aku memandang ke jendela, langit diluar sana sudah gelap, lampu-lampu kota terlihat jelas sekarang. Disaat-saat terakhir seperti ini, Langit lebih banyak diam memandang ke sekitar, headshetnya sudah ia lepas daritadi. Kami berdua lebih banyak diam, bahkan sampai pesawat berhasil memijakkan roda di tanah, Langit masih diam.
Pramugari kembali mengintruksi penumpang untuk dapat melepas sabuk pengaman dan tidak lekas berdiri sebelum pesawat benar-benar dalam keadaan berhenti, sebagian penumpang mengemasi barang-barang mereka.
"Lo ga mau turun? mau tinggal bersihin pesawat?" ucap Langit yang tengah bergegas, sementara penumpang lainnya sudah turun satu persatu
"Woi buruan!" ucapnya lagi dan aku akhirnya berdiri dari kursi. Setelah sejaman duduk tanpa melihat postur tubuh Langit, sekarang aku percaya, cowok ini memang tinggi, terbukti dengan aku yang hanya bisa mencapai bahunya.
Kami berjalan keluar dari pesawat dan masuk ke dalam bus untuk diantar ke pintu Bandara, jarak pesawat dan pintu masuk kedatangan cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, lagipula itu akan membahayakan.
Aku melirik Langit yang berdiri cukup jauh dari ku, cowok itu langsung mengeluarkan handphonenya, mungkin dia sedang mengabari seseorang atau.. tunggu, kenapa aku peduli dengan Langit? toh bukan urusan ku jika dia mengabari seseorang atau sebagainya. Sekali menyebalkan, tetap menyebalkan.
Bus berhenti dan semua penumpang lalu masuk ke areal Bandara, aku menarik napas dalam-dalam. Welcome, Bandung! akhirnya aku terbebas dengan masakan Tante Ayu yang mencekik leher. Tinggal sendiri di rumah bukanlah hal yang menakutkan bagi ku, malahan aku bisa mengajak Tami dan Citra untuk menginap di rumah, hal itu sudah sering ku lakukan saat Ayah, Bunda dan Zahra sibuk bolak balik Bandung-Surabaya saat Oma sakit-sakitan.
Bahkan saat menunggu koper ku yang baru saja diangkut dari bagasi pesawat, Langit masih sibuk dengan ponselnya. Sementara aku berdiri mematung memperhatikan tiap koper dan tas yang lewat dihadapanku.
Merasa jenuh koper ku belum terlihat juga, aku mendekati Langit yang berdiri tak jauh dari ku "Koper lo belum keliatan?" tanyaku berusaha mencuri pandang kearah ponselnya
Langit tampak kaget dan memandangku sinis "Ngagetin aja lo" kemudian kembali sibuk dengan handphonenya
"Abis koper gue ga lewat-lewat ih!" jawab ku dengan nada frustasi, meskipun Langit sama sekali tidak meminta penjelasan
Langit menghembuskan napasnya dan menaruh ponselnya ke dalam saku celana, sebuah tas punggung hitam yang berukuran cukup besar melintas di hadapan Langit, cowok itu segera mengambilnya dan langsung ia kenakan di punggung. Se-simpel itu kah hidup seorang Langit? sementara aku yang sedari tadi menunggu malah belum melihat koper ku sama sekali.
Langit tersenyum membuat lesung pipit di bagian kanan pipinya terlihar jelas. Ya, aku bahkan baru melihat wajah cowok ini dengan detail, selama di pesawat aku hanya bisa melihat sisi wajah sebelah kanannya dan ia hanya sesekali memperlihatkan keseluruhan wajahnya, tidak jelas dan detail seperti saat ini.
"Good luck finding your case, Biru" ucapnya masih dengan senyum dan segera berlalu meninggalkan aku yang mematung.
Sungguh? hanya itu?
ו×
Hola! Akhirnya terbebas dari uts dan Langit Biru bisa kembali dilanjutkan wkwk. Rada membosankan emang, but i hope you all still give your vote and comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Biru
Short Story[16/16 END] Apa jadinya berada dalam satu pesawat dengan cowok bernama Langit, cowok yang senang memberi tatapan intimidasi dan melontarkan kalimat menyebalkan. Bagi Biru, hari dimana ia berpisah dengan Langit adalah hari terindah dalam hidupnya, at...