Kemungkinan itu memang ada, bahkan menari-nari di sekitar kita, berharap untuk segera direalisasikan. Tapi, terkadang kemungkinan itu bisa membawa mu pada keterpurukan, dimana apa yang kamu harapkan tak sesuai dengan kemungkinan. Ketika apa yang kamu ekspektasikan, tidak terwujudkan.
Disisi lain, kemungkinan-kemungkinan yang lain masih ada, bahkan begitu banyak. Hanya saja, kita terus menggantungkan hidup pada satu pilihan, untuk mencapai kebahagiaan.
Bunyi derap kaki, roda koper, dan celotehan khas Biru memenuhi indra pendengaran Langit. Sudah satu jam mereka menunggu keberangkatan, raut bahagia tak bisa disembunyikan dari wajah keduanya.
"Miku, Citra bulan depan lamaran loh." ucap Biru dengan tangan dan mulut yang bekerja bersamaan dengan handphone di tangannya.
Langit berbalik ke arah Biru, menatapnya heran "Lamaran? emang Citra resign?"
Biru balik menatap Langit, ia berdecak sebal "Aduh, lamaran kawin maksudnya, bukan lamaran kerja."
Langit tertawa karena ucapan istrinya. Ya, Langit dan Biru sudah resmi menikah beberapa minggu yang lalu. Langit yang ternyata memiliki otak encer, dapat lulus kuliah lebih dulu dan mendapat pekerjaan, sementara Biru bahkan sudah muak dengan skripsi dan embel-embelnya.
Tepat setahun setelah Biru mendapatkan kerja, Langit datang kerumahnya, membawa seluruh anggota keluarga dan memasangkan cincin tunangan. Menjadikan mimpi tiap gadis di seluruh dunia itu akhirnya terwujud bagi Biru.
Waktu berlalu begitu cepat membuat hubungan selama tujuh tahun itu menjadi sah secara agama dan negara. Tentu saja waktu juga banyak mengubah mereka berdua.
Biru yang sekarang tumbuh menjadi wanita dewasa yang sekarang lebih senang menghabiskan waktu di kantor. Sedangkan Langit tidak lagi membawa kameranya kemana-mana karena pekerjaannya yang selalu mendesak, meskipun ia masih sama, mencintai Biru dan fotografi.
Dan apa pula yang dilakukan sepasang pengantin baru di Bandara?
Honeymoon."Bukannya Citra jomblo, ya?" lanjut Langit.
"Iya, dijodohin sama Papanya." jawab Biru setengah berbisik.
"Oh.. enakan kita dong, Riku?" Langit memandang Biru dengan tatapan menggodanya dan dibalas tawa oleh Biru.
"Tapi Miku, pasti kaya canggung gitu 'kan kalo dijodohin, mereka ga saling kenal langsung lamaran."
Status keduanya berubah, membuat panggilan akrab keduanya 'pun berubah. Miku panggilan akrab Biru pada Langit, diambil dari kata 'suamiku' dan Riku panggilan Langit pada Biru, diambil dari kata 'istriku'
Langit menatap wajah istrinya dan menggengam tangannya erat "Jodoh itu ibarat tempe, gaada yang tahu."
Biru memasang ekspresi datarnya "Tujuh tahun kita pacaran, selera humor kamu makin receh, ya."
"Iya, cintaku pada mu juga makin plus."
"Asal jangan pijet plus plus ya, awas kamu!" ancam Biru sambil mengepalkan tangannya dan mengarahannya pada Langit.
"Ngapaiin, enakan dipijet sama istri sendiri." jawab Langit sambil tertawa memperlihatkan lesung pipinya yang bahkan masih sama tujuh tahun lalu.
"Jadi.. kamu mau bikin tim sepakbola, basket apa voli?" sambungnya.
"Maksudnya?" tanya Biru
"Tujuh tahun kita pacaran, otak kamu masih aja lambat." Langit tertawa "Itu loh, little Biru sama little Langit, kita produksi berapa ekor?"
Biru kemudian tertawa dan memandang Langit di sampingnya "Tim badminton aja gimana?"
Bunyi informasi di ruang tunggu Bandara menggema di seluruh penjuru ruangan, keberangkatan Internasional tujuan Tokyo, Jepang dipersilahkan memasuki pesawat melalui gate.
Biru beranjak dari tempatnya dan segera bergegas, mengabaikan Langit yang masih mengerucutkan bibirnya karena jawaban istrinya barusan.
"Riku, sepakbola aja biar seru, rumah kita bakal rame. Kamu gak kesepian lagi deh nungguin aku pulang kerja." ucapnya sambil ikut berkemas.
Biru masih tidak mengidahkan perkataan suaminya itu, ia bahkan sudah berjalan lebih dulu menuju gate.
"Yaudah, basket aja kalo gitu yah? yah?" Langit berusaha mengekori Biru, masih menawar "Ibu mau cucu banyak soalnya." sambung Langit.
"Ga ah, badminton aja."
"Badminton tapi ganda campuran dikali dua yah, Riku?"
Dan perdebatan kecil mereka terus berlanjut hingga keduanya berada di dalam pesawat.
Terkadang, semesta se-lucu itu, membuat mu mati-matian merindu dan mencari, tapi tanpa diminta 'pun ia mempertemukan dengan caranya sendiri.
Terkadang, semesta membuat mu menangis dan ingin menyerah, tapi ia selalu saja memberimu harapan agar tetap berdiri kokoh pada saat yang bersamaan.
Mungkin, Langit dan Biru sudah ditakdirkan bersama. Dimana bandara dan pesawat menjadi tempat favorit keduanya.
Bukankah Langit dan Biru sangat indah jika disandingkan bersama?
ו×
Author note : huaaa akhirnya tamat jugaaaa!!! Babay Langit dan Biruuuu! Ada yg sempat komen katanya gamau endingnya kayak cerita gue yg friendzone mungkin karena sedikit ngegantung(?) So i made this "suami istri" thingy wkwkwk barusan bikin ending beginian aing. Makasih buat kalian semua yg udah baca, komen maupun vote ya! Gue sangat menghargai itu.
Lots of love, shinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Biru
Short Story[16/16 END] Apa jadinya berada dalam satu pesawat dengan cowok bernama Langit, cowok yang senang memberi tatapan intimidasi dan melontarkan kalimat menyebalkan. Bagi Biru, hari dimana ia berpisah dengan Langit adalah hari terindah dalam hidupnya, at...