Hari ini dinda berkunjung ke rumah Rizky dan memutuskan untuk menceritakan semuanya."Rizky, aku takut."
"Takut kenapa?" tanya rizky sembari mengelus pipi dinda pelan.
Dinda menatap rizky dgn tatapan sedih dan mencoba untuk menceritakan semuanya. Semakin lama dinda bercerita, semakin aneh raut wajah rizky, Ia seperti ketakutan dan terkejut dalam waktu yg bersamaan.
"Jadi aku menyesal telah membuatnya bersikap dingin seperti itu."
Rizky memalingkan wajahnya. "Maksudmu kamu ingin mendekatinya?"
"Bukan, bukan begitu. Maksudku aku ingin meminta maaf padanya bagaimana pun itu caranya."
dinda memeluk rizky dr belakang dan mencium pipinya. "Bolehkan jika aku berkunjung ke rumah billy hanya untuk meminta maaf padanya?"
rizky tersenyum kecil. "Hanya untuk sekedar meminta maaf?"
dinda mengangguk. "Ya dan tidak ada yg lain selain itu."
rizky melirik dinda dan memberikan sebuah senyuman. "yaudah pergi aja."
***
"Billy"
dinda mengetuk pintu rumah billy seraya menyebutkan namanya. Menunggu billy untuk membukakan pintu tidaklah cepat, ia harus menunggu selama beberapa menit, mungkin billy memang benar2 tidak ingin membiarkan dinda mengucapkan kata maaf untuknya."Billy"
dinda mengintip melalui celah di jendela tetapi ia tidak dapat menemukan tanda2 kehidupan di dalamnya. Dinda pun memutuskan untuk berbalik dan meninggalkan semua kata maafnya untuk billy didepan pintu."Din.."
Sontak dinda menghentikan langkahnya dan segera memutarbalikkan tumitnya.
"Billy!"
dinda berlari ke dalam pelukan billy dan menangis secara bersamaan.
"Maafin aku. Aku nggak bermaksud buat nyakitin hati kamu. tapi nyatanya secara tidak langsung aku udah nyakitin perasaan kamu Maafin aku.""Stt.." billy melepaskan pelukannya dan tersenyum menatap kedua bola mata dinda dgn hangat.
"Bukan salahmu, selama ini memang aku yg salah, Din. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu."
dinda tersenyum lebar.
"Kita masih bisa berteman kan?"***
Kemarin dinda masuk ke dalam rumah billy dan menemukan beberapa benda yg tidak asing baginya."billy, rumahmu bagus juga ya."
billy menoleh ke arah dinda dan tersenyum. "Dinda suka gitu deh."
Dinda memamerkan cengiran kudanya dgn penuh percaya diri. "Apa sih, billy."
dinda menebarkan pandangan ke seluruh ruangan dan menemukan sebuah snapback yg sama dgn orang yg sewaktu itu mengetuk pintu kamarnya.
"billy, snapback itu milikmu?" dinda memperhatikan mata billy dan mencoba untuk menemukan sebuah kebohongan.
Billy mengangguk. "Milik saudaraku, memangnya kenapa?"
dinda tertegun. "Oh, tidak. Aku hanya pernah melihat snapback yg mirip dgn punyamu."
Jadi selama ini Rizky adalah saudara Billy? Ah, tidak mungkin.
Tetapi matanya berwarna cokelat sedangkan billy bermata hitam pekat. Ah, tidak mungkin jika mereka bersaudara."Dinda?"
Sontak suara billy membuyarkan lamunannya. Dinda hanya bisa tersenyum tipis ketika billy melangkah mendekatinya."Kamu kenapa? Kok ngelamun?" tanya billy sembari memperhatikan wajah dinda.
"Ah, tidak apa-apa. Uhm, billy. Apa kamu pernah datang ke rumahku?"
billy menoleh ke arah dinda dan mengerutkan dahinya. "Tidak, memangnya kenapa?"
"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertanya."
dinda kembali mengitari rumah billy sembari bercanda gurau dgn sang pemilik rumah. Gerakan kaki dinda yg terlalu cepat membuat billy kewalahan. Dinda hanya bisa terkekeh kecil ketika mendengar billy mengeluh karena tingkahnya.
Ada sebuah benda yg menarik perhatian dinda. Sebuah tempat gel berwarna hitam tergeletak begitu saja di lantai. Tangannya segera mengambil dan membaca tulisan kecil di atas tutupnya.
"Uh? Lem rambut?"
"Hei!" billy merebut tempat itu dan segera menyembunyikannya di balik jaket hangatnya.
Dinda menatap billy heran ketika raut wajahnya terlihat sangat gugup. "billy, itu untuk apa?"
billy diam seribu bahasa dan terus menggelengkan kepalanya.
"Untuk apa, billy?"billy menatap dinda sinis dgn keringat yg mulai bercucuran dari pelipisnya.
"Jawab aku, billy"
"Bukan urusanmu."
Seketika billy menepis tangan dinda kasar dan menatapnya heran."Apa pedulimu?"
dinda hanya bisa terdiam.
"Apa pedulimu, huh? Apa?" billy mencengkram tangan dinda bersamaan dgn tangan kanannya memegang rahang dinda kasar.
"Sejak kapan kamu peduli denganku, Dinda?"
dinda bisa merasakan rahangnya mengeras dan kesakitan akibat tenaga billy yg terlalu keras.
"Apa pedulimu!" teriak billy tepat di depan wajah dinda.
"Mmm, billy. Tapi itu untuk apa?"
PLAK!
Dan dinda hanya ingat sampai situ. Keadaan setelah itu gelap gulita dan saat pagi ia sudah berada di dalam kamarnya dalam posisi tertidur."Hai, Din."
dinda menoleh ke arah rizky yg sedari tadi sedang memperhatikannya dgn wajah yg cemas. "Apa?"
"Kamu tidak apa-apa?"
dinda menyerengitkan dahi dan menatap rizky heran. "Harusnya aku yang bertanya, Apakah kamu baik-baik saja? Bukan kamu."
Rizky terkekeh pelan. "Aku baik-baik saja."
"Lalu, apakah kamu benar-benar mengidap penyakit itu?"
-bersambung-