Six- Threat!

103 41 10
                                    

Malam harinya. Aku sendiri sedang berada di kamar yang mendominasi warna biru muda sambil memandang kosong ke arah langit yang dihiasi oleh jutaan bintang dari balik sebuah jendela.
Pikiran ku melayang-melayang mengarah kepada kejadian siang tadi. Disaat mengetahui kenyataan bahwasanya orang yang ku kira adalah seorang berandalan, yang mungkin nantinya akan menjadi biang masalah di sekolah. Ia merupakan cucu dari pemilik yayasan tempatku bersekolah.

Pantas saja dia dapat dengan mudahnya diterima di sekolah itu, ya memang karna secara tak langsung ia adalah pemilik dari sekolah itu. Tapi aneh sekali dengan sikapnya tadi siang. Apa benar kata Eriska dan bu Lidia tadi siang, bahwa anak baru itu lebih memilih dihukum bersama denganku dibandingkan menikmati fasilitas yang bu Lidia kepadanya sebagai seorang cucu dari pemilik yayasan. Apa alasannya coba dia melakukan hal itu? Dan untuk apa? Bukannya sudah enak ya, dia mendapatkan perlakuan khusus yang membuatnnya dapat terhindar dari segala macam hukuman.

Eriska tiba-tiba menghadang ku di depan pintu kelas ketika ku kami kembali dari perdebatan sengit,lalu ia membordirku dengan berbagai pertanyaan. Tentu saja ku ceritakan semua kejadian di ruangan bu Lidia pada hari ini sampai sedetail-detailnya kepada Eriska.

"Serius lu Na? Dia ngomong gitu sama bu Lidia?" itulah respon yang dia berikan kepadaku
Ada nada tak percaya didalamnya. Namun,ku jawab dengan anggukan saja sebagai sebuah cara untuk meyakinkannya.

"Tadi dia juga aneh banget. Dia langsung pergi gitu aja sambil bawa tasnya keluar kelas. Pas, ditanya bu Lidia mau kemana. Tebak apa yang dia jawab. Dia bilang 'saya mau ngelakuin hukuman saya ngebersihin toilet bareng Nalika bu. Karna saya hari ini juga datang terlambat, seperti Nalika.' Asal lu tau aja ya, padahal bu Lidia udah ngelarang dia. Katanya gapapa kalo Arka gak ngelakuin hukumannya, tapi dia tetep nolak. Alasannya sih sama. Karna dia udah dateng telat. Abis ngomong gitu dia pergi nyusul lu ke toilet. Dan bikin orang sekelas bengong."

Pikiran ku pun kembali terbang kepada pertengkaran antara aku, dan Arka yang terjadi di koridor sekolah.

"Aw. Sakit. Lepasin tangan gue Arka. Sakit tangan gue!" rontakku sambil menghempaskan cekalan keras tangan Arka, saat tanganku di tarik paksa untuk menjauhi ruangan terkutuk itu. Kutatap dia dengan garang. Apa coba maksudnya narik-narik gitu. Dia pikir aku ini kambing apa main narik-narik aja. Dia kira gak sakit kali ya.

"Gak usah nyoba jadi pahlawan kesiangan deh. Gue gak perlu bantuan lu. Gue tau cowok apa. Cowok kayak lu tuh cuma cari muka doang. Biar famouskan? Biar semua tau kalo lu itu cucu dari pemilik yayasan. Biar semua takutkan sama lu. Dan sekaligus buat tebar pesonakan sama semua cewek disini. Tapi sori, gue gak kayak cewek lainnya yang bakalan terpesona sama cowok brandalan kayak lu." kataku menggebu-gebu sambil mengacungkan jari telunjuk di depan wajahnya.

Ku pejamkan mataku untuk menstabilkan emosiku yang mulai naik ke ubun-ubun. Ku buka kembali mataku setelah merasa emosiku sedikit mereda. Ku lihat rahang anak baru itu mengeras. Ekspresinya datar dan menatap tajam ke arahku. Dan kini keadaan berbalik arah. Dia mengacungkan jari telunjuknya di depan mataku.

"Denger ya cewek barbar! Pertama, gue gak nyoba buat jadi seorang pahlawan." perlahan-lahan ia melangkah mendekatiku.

"Kedua, tanpa harus gue bilang sama seluruh dunia kalo gue adalah cucu dari pemilik yayasan. Gue emang udah udah terkenal." semakin dekat ia melangkah kearahku. Mengharuskan aku melangkah kebelakang untuk menjauhinya.

"Ketiga. Tanpa harus gue susah payah buat tebar pesona. Cewek normal pastinya udah langsung kepincut sama ke gantengan gue ini." mundur-melangkah mundur-dan semakin mundur. Hingga akhirnya langkahku terhenti terbentur tembok yang menghalangi langkah ku.

Nalika HydrasyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang