36. Cu Siau-yau, Guguran Bunga Dalam Impian

769 20 0
                                    

Hidung Rasul kedua tidak kembang-kempis, Ong Siau-sik tidak tahu akan hal itu.

Tapi ia bisa mendengar nada suaranya telah berubah.

"Baik! Kalau memang arak kehormatan kau tampik, arak hukuman justru kau cari, jangan salahkan kalau kau harus membayar mahal untuk banyolanmu tadi,"

Tiba-tiba perkataannya berubah jadi tinggi meruncing, tajam bagaikan mata sebilah pisau.

Setelah berhenti sejenak, ia baru mendehem dengan suara rendah dan katanya lagi,

"Bila kalian memang sudah bosan hidup ... baiklah, Lohu akan mengabulkan permintaan kalian."

Ia sengaja menandaskan istilah "Lohu" dengan suara tajam.

Sayang musuhnya saat ini adalah Tong Po-gou yang suka membanyol.

Dengan tabiat lelaki raksasa ini, sekali dia mulai bergurau, maka banyolannya tiada habisnya, cepat dia menyahut, "Oohh ... rupanya Lo-hujin (nyonya tua), kalau begitu kabulkanlah permintaan kami."

Begitu perkataan itu diucapkan, Tong Po-gou sudah mampus sebanyak dua belas kali andaikata Ong Siau-sik tidak berdiri di sampingnya.

Mendadak tubuh Rasul kedua melompat ke udara, sepa¬sang jari tangannya langsung mencongkel mata Tong Po-gou.

Ia tidak ingin mencongkel keluar biji mata milik pemuda itu, tapi ingin menghujamkan jari tangannya ke atas bola ma¬tanya hingga tembus ke belakang otaknya.

Kuku jari tangannya nampak tajam berkilauan seperti mata pisau, dari desingan angin yang menderu bisa diketahui bahwa Rasul kedua benar-benar sudah mendendam pada Tong Po-gou hingga merasuk ke tulang sumsum.

Mengapa ia begitu gusar?

Mengapa ia begitu keji dan tega melancarkan serangan mematikan?
Mengapa ia begitu mendendam?

Ong Siau-sik sendiri pun merasa gurauan Tong Po-gou sudah kelewatan, sekalipun begitu, tidak seharusnya gurauan itu dihadapi secara begitu marah dan dendam.
Dalam keadaan seperti ini, tak ada waktu lagi baginya untuk berpikir panjang, ia segera menghadang di hadapan pemuda raksasa itu.

Tiga kali sang rasul kedua berusaha menjojoh bola mata Tong Po-gou, tiga kali pula Ong Siau-sik menghadang dan menghalau ancamannya.

Ketika serangan yang keempat kalinya dilancarkan, Ong Siau-sik mulai merasa kewalahan, ia mulai merasa tak sanggup membendung lebih jauh.

Serangan dari Rasul kedua memang luar biasa dahsyatnya, begitu hebat dan mengerikan seakan dia hanya tahu bagaimana menghabisi lawannya, ia sudah tak peduli lagi dengan kesela¬matan diri sendiri.

Dari balik mata Tong Po-gou muncul perasaan ngeri, namun dia masih membelalakkan matanya lebar-lebar, mengawasi datangnya serangan dengan perasaan ingin tahu.

Semakin besar Tong Po-gou membelalakkan matanya, semakin benci si Rasul kedua, kalau bisa dia ingin sekali mencongkel keluar sepasang biji matanya, dia ingin mencongkel mata itu lalu diinjak-injak sampai hancur, dia ingin melampiaskan rasa benci dan jengkelnya yang tak terhingga.

Sekali lagi Ong Siau-sik segera menghadang di depannya, "Breeet!", kali ini baju bagian bahunya kena tersambar hingga muncul sebuah robekan panjang.
Ketika menerjang untuk kelima kalinya, Rasul kedua membentak nyaring, "Enyah kau dari situ, tak ada urusan dengan dirimu!"

Ong Siau-sik menghela napas panjang, sambil menarik napas ia melolos goloknya.

Cahaya golok memancar bagai satu bait syair yang menggetarkan sukma.
Sambaran golok bagai sebuah impian.

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang