61. Siapa Berani Memenggal Kepala yang Besar

651 11 0
                                    

Dengan 'dosa' yang ditimpakan kepada Tong Po-gou dan Thio Than, mestahil mereka dapat melarikan diri dari penjara besar. Tapi hingga senja keesokan harinya mereka masih tetap disekap dalam penjara, hanya bedanya, Jin Lau tidak muncul lagi untuk mengadili serta memaksa mereka memberi keterangan.

Tong Po-gou mulai kehilangan kesabarannya, dia mulai gelisah bercampur gusar.
Thio Than pun sangat menguatirkan keselamatan Lui Tun, terutama setiap kali teringat akan pertarungan akbar yang akan dilakukan perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-si-yu-lau keesokan harinya.

Menjelang malam ketika seorang sipir penjara datang mengantar makanan dan lagi-lagi hidangan yang diberikan ada-lan rangsum yang mirip makanan babi, tak tahan Tong Po-gou langsung mengumpat, "Kau anggap hidangan macam begini adalah makanan manusia?"

Sipir penjara itu mendengus.

"Ada apa?" balik tegurnya, "jangan lupa, meski di luar sana kau adalah seorang kaisar, selama ada di sini kau tetap seorang telur busuk, sudah lima puluh tahun hidangan semacam ini beredar dalam penjara, kalau enggan disantap, buang saja!"

Baru saja Tong Po-gou akan mengumbar amarahnya, Thio Than telah menyelinap ke samping pintu penjara seraya berseru, "Ribuan daun teratai ribuan pohon, ribuan ranting jutaan rumah, tolong tanya jalan mana menuju ujung langit? Jalan mana menuju ke rumahmu?"

Lekas sipir penjara itu menjawab, "Jalan menuju ujung langit jauh, kaki langit dekat, biar langit luas bukan rumahku, dalam rumah ada lima singa, tak ada jalan ke langit tak ada jalan ke bumi, jalan yang ditunjuk penggembara susah untuk dilewati."

Tong Po-gou berdiri melongo, ia seperti bingung dengan pembicaraan yang sedang berlangsung, tak tahan tegurnya, "Apa yang sedang kalian bicarakan?"

Thio Than tidak menggubris, kembali katanya, "Lo-ko, tolong sedikit ringan tangan dan melepaskan kami berdua."

Sipir penjara itu mendelik gusar ke arah Tong Po-gou, tapi tak berani bersikap kasar terhadap Thio Than, katanya, "Aku pun sudah mendengar tentang kasusmu, tapi kami benar-benar kehabisan akal, sebab kau adalah tawanan yang ditangkap langsung oleh Cu Gwe-beng dan sedang diinterogasi Jin Lau, aku rasa susah untuk membantumu. Tapi kalau delapan sepuluh hari kemudian, mungkin urusan lebih gampang...."

"Bunga merah tujuh belas kuncup," kembali Thio Than berkata, "aku adalah Lo-ngo dari bunga Tho, tolong bantulah aku, malam ini kami benar-benar ada urusan mendesak yang harus segera diselesaikan."

"Soal ini sipir itu termenung beberapa saat, setelah melirik lagi ke arah Tong Po-gou, terusnya, "Apakah kalian harus pergi bersama-sama?"

"Kami masuk berdua, tentu saja harus keluar bersama."

"Kalau hanya satu orang sih jauh lebih gampang agaknya sipir itu telah mengambil keputusan, "rasanya tak ada jalan lain kecuali minta tolong... minta tolong dia."

"Dia?"

"Sedih gembira berkumpul berpisah, raja mengenaskan tak melihat sang surya!" sambil mengucapkan perkataan itu, sipir itu segera beranjak pergi.

Thio Than seketika berdiri termangu, sampai lama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun.

"Apa-apaan dia itu?" tanya Tong Po-gou kemudian.

"Tutup mulutmu!" hardik Thio Than lirih.

Jarang sekali Thio Than bersikap kasar kepada orang lain, bukannya gusar, Tong Po-gou semakin keheranan, kembali tanyanya, "Jadi dia adalah seorang manusia?"
Thio Than tidak menjawab, lagi-lagi dia bergumam, "Ternyata ... ternyata dia berada di sini."

"Siapa?"

"Ji-liang-ong (Raja mengenaskan)!" "Raja mengenaskan?"

Menjelang tengah malam tiba-tiba terdengar pintu penjara dibuka orang, dua orang sipir penjara berjalan masuk diikuti seorang kakek yang rambutnya telah beruban, tubuhnya pendek dan kurus, seluruh otot dan kulit tubuhnya telah keriput.

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang