53. Perintah Komando

649 15 0
                                    

BAB V: PENYERBUAN BESAR-BESARAN

Hujan di luar turun semakin deras dan rapat.

Tengah hari tadi, ketika para jago kelas satu dari kotaraja mengerubut Kwan Jit, waktu itu cuaca pun sangat buruk, hujan dan angin menderu-deru, kini keadaan tak jauh berbeda, kilat tampak menyambar-nyambar, guntur menggelegar di angkasa, angin kencang hujan amat deras.

Benar-benar sialan, ternyata harus terkepung di dalam kakus.

Kening, wajah dan pakaian Tong Po-gou sudah basah kuyup tertimpa air hujan, tapi kini ditambah dengan butiran peluh sebesar kacang kedelai, meleleh dan menetes ke bawah seperti darah yang meleleh dari luka yang digurat oleh golok.
Siapakah orang-orang itu?

Kini ujung senjata mereka sudah ditempelkan di atas dinding kakus, apa yang sedang mereka nantikan?

Kini Tong Po-gou benar-benar sudah terkepung di dalam kakus, di atas ada musuh, di empat arah delapan penjuru semuanya ada musuh, asal dia menerjang keluar, maka seluruh senjata pasti akan dihujamkan ke tubuhnya, meninggalkan beratus lubang di seluruh bagian tubuhnya, membuat dia berubah jadi seekor landak yang mampus di dalam kakus.

Tentu saja Tong Po-gou tak ingin menjadi seekor landak, dia pun tak ingin mati.
Dia terlebih tak ingin mampus di dalam kakus.

Masakah Tong Po-gou yang gagah perkasa, harus mampus dalam kakus yang bau, omongan macam apa itu?

Dia harus hidup, tentu saja dia tak ingin hidup di dalam kakus.

Dia ingin hidup. Hidup begitu indah, begitu nikmat, kenapa dia harus mati?

Di dunia ini banyak terdapat orang jahat, kenapa bukan mereka yang mati, kenapa dia yang harus mendapat giliran dulu untuk mati?

Namun dia pun merasa tak sanggup untuk menerjang keluar dari situ.
Dalam situasi dan keadaan seperti ini, gagal menerjang keluar dari situ berarti mati, paling tidak dia akan menjadi bulan-bulanan kawanan manusia itu.

Tapi, apa yang sedang dinantikan orang-orang itu?

Apakah sedang menunggu perintah komando?

Begitu perintah diturunkan, perintah komando untuk merenggut nyawanya?
Sekujur tubuh Tong Po-gou basah kuyup, jauh lebih kuyup ketimbang tadi.

Bahkan kini ia mulai mengejang dan kaku. Dia seakan sudah lupa apa tujuannya datang ke kakus.

Dia amat gelisah dan cemas, tapi tidak secemas dan segelisah tadi, Kini dia ingin lekas keluar dari situ.

Dia ingin berteriak minta tolong kepada Thio Than, tapi dia pun sadar sebelum teriakannya terdengar oleh Thio Than, mungkin tubuhnya sudah mendapat hadiah tujuh delapan belas buah lubang tusukan, tusukan dari senjata-senjata itu.
Dengan napas memburu dan terengah dia berdiri kaku dalam kakus, sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Kalian ingin membunuhku, lalu apa yang mesti kulakukan?" terdengar Thio Than bertanya sambil tertawa getir.'

"Aku rasa hanya ada dua cara untukmu," sahut si Lian-thian, "dibunuh oleh kami atau kau bunuh kami."

"Aku tak ingin membunuh kalian," seru Thio Than dengan mata mendelik.

"Sekalipun kau ingin membunuh pun belum tentu sanggup membunuh kami," ejek Si Lian-thian sambil tertawa. "Tapi mengapa kalian ingin membunuhku?" Kembali Si Lian-thian tertawa dingin.

"Orangnya saja sudah hampir mampus, buat apa mesti menanyakan hal itu?"

"Karena aku tak ingin membawa pertanyaan sewaktu menghadap raja akhirat nanti."
Si Lian-thian tampak agak sangsi, dia berpaling ke arah Beng Khong-khong.

Pendekar Sejati : Golok Kelembutan (Wen Rui An)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang