Disintegrasi Netra

64 2 0
                                    

Dan bagiku, dunia tak ubahnya seorang bocah yang merengek menjerit diantara riuh. Liar.
Mereka tenggelam pada asumsinya sendiri tentang hidup—sederhana pikirnya. Hidup hanya soal perkara menunggu ajal, baginya.

Kini ditempatku duduk, memangku bising ada saja hal-hal yang membuatku muak. Aku benci sepi, aku juga benci ramai, aku cinta damai.

Tenang mengalir bagaikan sungai yang belum dijamah manusia, belum dinodai tangan-tangan mereka. Sinkronisasi alam dengan kehidupan bukankah itu sebuah puncak paling menenangkan?

Aku tak pernah mengerti tentang cara para pemberontak yang berselimut dibalik masa remaja.

Aku tak pernah mengerti cara mereka meramu masa depan dengan komposisi yang absurd.

Aku tak pernah mengerti tentang orang yang menodai makna demokrasi dengan sikapnya yang otoriter.

Aku tak mengerti tentang kesedihan akan hal-hal diluar logika.
Aku pun tak mengerti tentang orang yang membuang tenaganya untuk hal tak berfaedah.

Sungguh, aku tak mengerti pemborosan macam itu. Sudut pandang netra kita hampir tak pernah sama.

Semuanya hitam dan putih, dunia kita abu-abu. Bising. Ah, majenun!

•||•

Oktober, hari ke sebelas abad ke dua puluh

Luna PoeticaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang