Jemariku enggan berhenti menari diatas keyboard digital. Otakku pun senantiasa menyalurkan hal-hal yang ingin ku ucapkan bersama jantungku yang debarannya terlampau bising.
Tiada henti.
Satu paragraf, dua paragraf.
Aku terus bercerita soal hari ini.Kamu pun melakukan hal yang sama denganku. Hanya saja kamu lebih bijak, menanggapi seseorang yang butuh berkeluh kesah saat ini. Kamu menghibur, menstabilkan emosi agar logikaku tak lumpuh. Kita terus membiarkan dua ibu jari menekan huruf yang kita mau.
Tak lupa menekan tombol kirim.
Makin hari makin terpesona saja aku membaca rangkaian katamu. Merayu hati, mencumbu jiwa yang haus kasih dan perhatian. Hingga tiba saat ini, aku biasa saja menatap dan berbicara denganmu tanpa ketikan. Kamu bagai angin yang melewati telingaku—kosong, tak seberat percakapan digital kita berdua.
Mungkin aku hanya jatuh cinta pada tulisanmu karena menghabiskan waktu lebih lama dengan layar, dibanding dengan wajahmu.
Bekasi, 21 Mei 2017
—Tengah malam, lekaslah tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna Poetica
PoetryBarisan Rasa hadir untuk menceritakan kepadamu bahwa hidup tak semulus porselen antik yang indah berkilau. Terkadang kita perlu mengkritik, kadang perlu berbahagia, kadang pula perlu bersedih. Selamat menikmati remah-remah kata disini! Coba saja dah...