SURAT ADINDA

54 3 0
                                    

Karawang, 23 September 2016

Untuk kanda,

Di tempat.

Salam rasa,

Jika kau tanyakan padaku, berapa lama waktu yang ku butuhkan untuk berpindah hati? Jawabanku sederhana; waktunya sama seperti membalik sebuah telapak tangan.

Jika kau tanyakan padaku, berapa lama waktu yang ku butuhkan untuk jatuh cinta? Jawabanku sederhana; waktunya sama seperti menunggu bunga mawar mekar.

Jika kau tanyakan padaku, berapa lama waktu yang ku butuhkan untuk membersihkan hati? Jawabanku sederhana; waktunya sama seperti menyapu sebuah teras rumah.

Jika kau tanyakan padaku, berapa lama waktu yang ku butuhkan hingga tak sanggup menahan rindu?

Jawabanku rumit; sebab rindu bagai angkasa tanpa batas. Tanpa waktu. Dan kau takkan mengerti.


Aku menangis, itu hal yang wajar kan? Tapi aku janji ini kali terakhir aku menangisi dirimu. Aku tertawa, itu hal yang wajar kan? Tapi aku janji ini kali terakhir aku tertawa denganmu. Aku jatuh cinta, itu hal yang wajar kan? Tapi aku janji ini kali terakhir aku jatuh cinta padamu.

Sungguh, ini yang terakhir.

Awalnya kita bertemu karena fragmen kisah kita yang sobek lalu menghilang entah kemana. Baru kusadar, pertemuanku denganmu bukan atas dasar rasa yang terikat justru karena masa lalu yang masih melekat.

Kau mencintainya, aku mencintainya.

Kita adalah dua hati yang terluka, bersatu untuk saling menyembuhkan hingga akhirnya lupa akan luka. Ah, dusta. Kita tak pernah lupa dengan luka masa lalu, kita hanya menguburnya. Bukankah begitu, kanda? Kejamnya, lukamu sembuh lebih cepat dariku. Seseorang menarik tanganmu agar jatuh ke pelukannya, dan bodohnya aku malah menangisimu. Seharusnya aku membuat pesta bahagia atas sembuhnya luka hatimu, iya kan?

Obatku habis.

Pergilah dengannya, kanda. Aku tak lagi bisa mengurusmu. Tak apa jika kau tak tahu caranya berterima kasih. Alkohol, perban, plester, aku tak lagi butuh semua itu darimu. Aku akan kembali ke duniaku, belajar menyembuhkan lukaku sendiri.

Pergilah, kanda.

Kita tak pernah saling menyayangi. Tak perlu heran jika aku sehat setelah kau pergi dariku.

Kau parasit, dan aku inangnya.

Bukankah begitu, kanda?

Salam dariku,

Adinda.

Luna PoeticaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang