Learn

530 30 0
                                    

Junhoe lamat-lamat mengamati layar ponselnya. Puluhan pesan baru yang masuk tak satu pun ia balas. Ia tahu seseorang di seberang sana tengah menitikan air mata lantaran pesannya diabaikan. Junhoe paham sekali itu. Namun entah iblis apa yang merasuki jiwanya, hati pemuda itu kebas. Ia tak dapat merasakan apa-apa.

Sore itu ia habiskan di rooftop apartemen. Sepertinya kabur saat makan siang bersama dan melewati jadwal latihan adalah pilihan terakhir yang ia miliki. Pemuda itu bahkan tak
memikirkan risiko yang akan ia tanggung akibat aksi konyolnya. Tengah malam nanti bisa saja dia diinterogasi oleh Hanbin dan kena omel habis-habisan. Oh, sudahkah
kukatakan hatinya kebas? Ya, dia kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Jun, balas pesanku.

Goo Junhoe kau sudah keterlaluan.

Kau anggap aku apa? Sampah?

Sampah? Pemuda itu mengernyit. Dari puluhan pesan singkat yang ia terima lewat KaTalk-nya, pesan terakhir yang ia terima adalah pesan yang paling membuatnya muak. Sampah? Bagaimana bisa?

Ia hendak mengetik pesan balasan jika saja bahu kanannya tidak ditarik oleh sebuah telapak tangan yang hangat. Begitu Junhoe menoleh, ia mendapati Jiwon berdiri di belakangnya sembari menenteng plastik transparan berisi sekotak junk food. Kalau dilihat-lihat sih sepertinya sepaket hamburger dan kentang goreng.

Tanpa permisi Jiwon mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Junhoe. Ia melempar tentengan yang ia bawa hingga jatuh di hadapan Junhoe yang tengah memeluk lutut sambil menggenggam ponsel yang layarnya masih menyala.

Alih-alih berterimakasih, Junhoe justru bungkam. Sekali lagi, hatinya kebas. Ia tak dapat merasakan apapun. Tubuhnya sendiri tak ia pedulikan. Hampir enam jam ia berada di sana tanpa pakaian yang cukup hangat dan itu cukup membuat Jiwon merasa khawatir.

Jiwon tak ingin mengeluarkan kalimat meski benaknya disesaki dengan tanda tanya. Ia tahu sifat keras kepala Junhoe tak ada yang bisa menandingi. Jadilah ia membiarkan adik- tak sedarah- nya itu melakukan apa yang menurutnya tepat.

Hampir satu jam waktu yang termakan tanpa ada konversasi maupun pergerakan yang berarti di antara keduanya. Sesungguhnya Jiwon ingin membiarkan Junhoe yang memulai percakapan. Namun kelihatannya mustahil mengingat anak itu egonya tinggi sekali. Jadilah, dengan segenap kepedulian yang ia miliki, Jiwon membuka suara.

"Apa lagi kali ini?" Jiwon bertanya

Bukannya jawaban, hanya kerlingan singkat yang Jiwon terima. Meski ia tahu usahanya sia-sia dengan memutuskan melontarkan kalimat tanya kepada Junhoe, usahanya tidak berhenti begitu saja.

"Bertengkar lagi?"

Kali ini pertanyaannya hanya disahuti oleh kedikan bahu dan helaan napas berat dari bilah bibir Junhoe. Tanpa persetujuan Jiwon mengambil dan memeriksa ponsel Junhoe yang tergeletak tidak jauh dari ujung sepatu yang ia kenakan.

Setelah selesai membaca pesan yang ada di ruang percakapan Junhoe dengan kekasihnya, kini Jiwon mengerti.

"Jadi apa yang membuatmu bertingkah seperti ini, Jun?"

Tidak ada respons. Junhoe hanya meluruskan pandangnya pada cakrawala yang hendak berganti menjadi gelap. Jiwon tahu pemuda itu tak akan mendengarkan apa pun yang akan ia ucapkan. Jadi ia hanya memerhatikan polah pemuda itu.

"Aku tidak tahu."

Jiwon menoleh seakan di sebelahnya merupakan penemuan abad ke 2 sebelum masehi yang kini mengeluarkan suara. Beberapa kali Jiwon berkedip, sebelum benar-benar menyimak setiap patah kata yang lolos dari mulut Junhoe.

iKON FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang