Day -2

1.1K 78 3
                                    

Kantin kantor sudah dihuni cukup banyak orang ketika Aurora sampai disitu. Penghuni kantin pagi, begitu mereka disebutnya. Mereka-mereka yang menikmati sarapan di kantor, atau hanya sekedar merenung sejenak sebelum bekerja.

Ia hanya sesekali menjadi penghuni kantin pagi. Kalau dia telat bangun dan enggak sempat membuat sarapan. Seperti pagi itu.

Dengan mantap, ia menghampiri bilik dagang nasi uduk Ibu Risma. Salah satu dari sedikit yang buka sejak pagi. Setelah mendapatkan pesanannya, ia duduk di bagian kantin yang menghadap lapangan belakang. Beberapa instalasi bambu yang menyerupai gubuk menghiasi pemandangannya itu.

Kantong matanya pagi itu cukup terlihat, walaupun sudah ia coba tutupi dengan bedak.

Wajar saja sih, karena semalam ia menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan Belle. Melalui Skype. Belle mengingatkan kalau Aurora akan jadi Maid of Honor, dan harus membantu persiapan pernikahannya nanti. Pernikahan yang tinggal 2 minggu 3 hari itu memang akan dilakukan tanpa bantuan Wedding Organizer.

Di akhir obrolan mereka-yang berakhir karena alarm pagi Aurora berbunyi-malah Aurora yang dibuat bingung dengan godaan Belle.

"Kayaknya kamu dan Ethan jodoh banget, deh."

Sebelum Aurora bertanya apa maksudnya, Belle sudah memutus sambungan mereka.

Aurora berdeham dan menelan suapan terakhir nasi uduknya.

"Ethan siapa sih maksudnya? Personel Fire Gasoline favoritku?" Aurora mengeluarkan senyum kecil. "Aneh ah, random banget. Pasti dia baru baca novel tentang anak band lagi."

Baru saja ia bersiap-siap berdiri, ia dikagetkan dengan kehadiran seseorang di sampingnya.

"Sejak kapan kamu disini?!" Aurora terduduk kembali dan pupil matanya melebar. "Ngagetin tau!"

Perempuan itu duduk di depan Aurora, meletakkan semangkuk bubur ayam dan segelas teh. Keduanya masih mengepulkan sedikit asap.

"Aku udah berdiri disitu sejak kamu bergugam soal Ethan. Siapa sih maksudnya? Beneran Ethannya Fire Gasoline?"

"Bukan. Bukan siapa-siapa," jawabnya santai. "Sahabatku yang mau nikah itu kayaknya udah mulai aneh deh. Tiba-tiba ngomongin jodoh gitu."

"Eh iya, kamu jadi ke nikahan temen kamu dong? Udah ijin ke bos?"

Aurora mengambil kerupuk dari mangkuk temannya itu. "Belom nih, Kel. Si bos lagi bagus atau enggak nih suasana hatinya? Bisa-bisa nanti kena omel."

"Si bos sih emang galak kalau tentang deadline kerjaan. Tapi,"-Kel menyeruput teh hangatnya-"doi mah enggak bakal ngomel-ngomel cuman karena kita minta ijin. Paling-paling, enggak boleh ijin."

"Sama sajaa! Sama-sama bikin aku enggak bisa pergi dong."

Aurora menggembungkan pipinya. Kel hanya tertawa kecil melihat kelakuan teman dekatnya di kantor-walau beda divisi-itu.

"Lagian, kamu kan dekat sama bos. Pasti kalau kamu yang minta, dibolehin."

Aurora enggak menanggapi itu. Alih-alih, ia memandangi instalasi bambu di lapangan belakang.

"Nyebelin ah, masa enggak ditanggapin," ujar Kel sekenanya. "By the way, sketsa interior kantor klien kamu itu udah aku rapikan dan buat digitalnya. Mau dicetakin di studio Drafter atau gimana?"

"Aku minta file-nya saja, deh. Klienku yang ini sukanya yang digital gitu."

"Oke deh. Kalau gitu nanti aku email ke kamu."

"Sip."

Keduanya meletakkan piring kotor mereka di meja peralatan makan kotor, lalu berjalan menuju lift. Mereka sedikit berpacu dengan waktu, supaya enggak terkena antrian panjang di lift.

DON'T! Melempar Buku ke Pengiring PengantinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang