13

74 4 0
                                    

Seminggu berlalu semenjak kejadian itu. Pagi mereka kini sudah tidak ada lagi papa mereka. Setiap malam dikamar, mamanya selalu menangis bersama Dellya yang menemaninya. Sikap Derrio menjadi lebih dingin dari biasanya dan sedikit pada teman-temannya. Derrio suka membully, dan membuat orang lain masuk rumah sakit karna ulahnya. Bahkan, kini dia menjadi orang yang paling ditakuti seantero sekolah. Walaupun dia masih SMP tetapi untuk kekuatan, dia lebih hebat dari anak SMA. Mereka -anak SMA- sudah mengakui itu dan akhirnya menjalin pertemanan dengan Derrio.

Dellya sudah berulang kali menegur Derrio dan menyuruhnya untuk berhenti. Tetapi Derrio mengabaikan itu semua. Derrio berkata kalau dia sudah muak dengan sikap Dellya yang suka mengaturnya dan itu membuat Dellya sakit. Bukan sakit fisik yang bisa hilang dalam beberapa hari, tetapi sakit hati yang akan sangat sulit hilang.

"Kamu sekolah saja hari ini. Mama bisa sendiri kok."
Dellya yang sedang melamun langsung menolehkan wajahnya, melihat wajah mamanya yang sedang kacau tetapi tetap tersenyum.

"Mama yakin?" Tanya Dellya. Mama mengangguk dan tersenyum menyakinkan Dellya.

Dellya bergegas ke kamarnya yang terletak di lantai 2 untuk bersiap. Pantulan dirinya di kaca sungguh ironis. Walaupun sudah ditutupi oleh bedak, lingkaran hitam disekitar matanya tidak hilang juga.

Dellya mencium tangan mamanya lalu pergi sekolag diantar supir. Dimobil ia sibuk memikirkan kata-kata yang pas sebagai jawaban jika ditanya macam-macam oleh Yaya.

"Woy Del, kenapa kemarin gak datang?" Tanya Yaya setibanya Dellya di sekolah.

"Gue ada acara keluarga di Bandung," jawab Dellya berbohong. Tentu saja, ia tidak akan menceritakan aib keluarganya jika tidak terdesak kepada orang lain termasuk Yaya yang masuk kategori sahabat.

Bel dering tanda masuk sekolah. Yaya dan Dellya segera masuk kelas dan duduk dibangku masing-masing. Dellya melirik bangku Revan yang kosong. Ck pasti telat lagi... Ucapnya dalam hati.

Dellya memfokuskan pikirannya pada penjelasan guru di depan. Suara ketukan membuat seisi kelas melihat siapa yang datang. Disana, berdiri seseorang yang tinggi, rambut acak-acakan, baju yang tidak rapi, dan keringat membasahi wajahnya. Revan, dialah seseorang yang berdiri di ambang pintu dan tersenyum tidak berdosa.

"Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua," ucapnya sebagai salam dengan senyuman di wajahnya.

Guru melipat tangannya dan menyuruh Revan masuk dengan gerakan tangannya. Dengan langkah santai Revan mendekati guru perempuan itu.

"Dari mana saja hah? Kami sudah mau pulang, kamu baru masuk!" Repet guru perempuan itu yang mengajar mata pelajaran Geografi.

"Aduhh miss Sofia yang cantik sepanjang jalur khatulistiwa. Revan tadi ada sedikit kendala," Revan membalas ucapan guru itu. Ia mengedipkan sebelah matanya, menggoda.

"Baiklah, kamu saya ampuni. Tapi awas lain kali!" Ucap bu Sofi lalu menyuruh Revan duduk.

Emang, gimana murid pada gak jadi cabe semua kalau guru nya kayak gitu juga? Padahal ada beberapa guru bilang 'gimana sikap gurumu, contohlah mereka." Hemmm.

Revan duduk dengan sunggingan tetap melekat pada bibirnya. Dia melirik dan mengacuhkan Dellya lalu membuka bukunya lalu menyelipkan handphonenya untuk bermain game. Posisi yang benar-benar nyaman untuk seorang pemalas seperti Revan.

Dellya memperhatikan guru hingga tak sadar bel berbunyi nyaring membuat seisi kelas ribut. Bu Sofi yang masih dikelas hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah anak muridnya yang bisa dibilang 'tidak sopan' karna berteriak saat masih ada guru dikelas.

Dellya mengambil uang dari dalam tas lalu ke kanti bareng Yaya yang sudah nunggu di luar.

Kantin sudah lumayan rame. Melirik antrian yang mulai rame, Dellya menghela nafas berat lalu duduk dengan tampang suntuk.

"Gak makan?" Tanya Yaya.

"Males gue ngantri." Jawab Dellya

"Dasar tuan putri. Jangan harap yaa gue bakal beliin lo makanan." Kata Yaya lalu meninggalkan Dellya yang masih duduk dengan kepala diletakkan di atas meja. Ia sungguh-sungguh malas untuk mengantri walaupun perutnya sudah kelaparan.

Ia mengantuk. Matanya sudah hampir tertutup saat Yaya datang dan membuatnya terkejut.

"Wew, katanya malas ngantri tapi nih makanan kok banyak banget ye?" Ucap Yaya.

Dellya menegakkan badannya, dan benar saja. Dimejanya sudah ada sepiring nasi goreng, soto ayam, mie rebus, batagor, dan segelas jus mangga kesukaannya. Ralat, semua makanan ini termasuk kesukaannya.

Dellya mengedarkan pandangannya dan mendapatkan Derrio yang sedang duduk preman bersama teman-temannya yang berbeda umur dengannya. Teman barunya memakai baju seragam putih-abu, hanya dialah yang putih-biru.

Dellya tersenyum tipis lalu memakan makanan sebanyak itu pelan-pelan. Yaya yang sudah memiliki burger ditangannya, ikut memakan makanan Dellya.

Bel berbunyi tepat saat Dellya menghabiskan jus mangganya. Makanan pun sudah habis tak bersisa. Bukan Dellya yang memakannya, tetapi Yaya yang memonopoli semua makanannya. Selera makan Dellya turun drastis, walaupun disungguhi makanan kesukaannya, ia hanya memakan sedikit. Ia hanya memakan burger yang dibeli Yaya dan batagor. Selebihnya, Yaya lah yang menghabiskannya.

"Gila, kenyang banget gue." Yaya menyandarkan punggungnya. Ia memegangngi perutnya yang sedikit membuncit.

"Balik kelas yuk," ajak Dellya yang ditolak Yaya.

"Lo duluan aja gih. Gue gak kuat jalan. Permisiin gue ya, bilang aja lagi di UKS."

Dellya mengangguk dan meninggalkan Yaya yang masih menyandarkan tubuhnya di kursi.

Dellya langsung masuk karna guru pelajaran belum ada di kelas. Ia duduk dan mengambil handphone nya lalu memutar lagu kesukaannya.

"Hai cecan."

Dellya menegakkan badannya. Bukannya geer atau apa, ia seperti familiar dengan suara ini.

"Oh hai. Lo, Temennya Derrio kan?" Dellya tersenyum tipis pada  dua orang dihadapannya.

"Yoi, lo masih inget nama gue kan?" Ucap salah satu dari mereka yang berambut gondrong.

"Emm, Dion ya?" Senyum diwajahnya luntur sementara yang satu lagi terkekeh kecil.

"Gue Putra neng geuliss. Yang ini nih Dion." Orang yang bernama Putra itu menunjuk temannya yang tadi terkekeh kecil. Dellya tersenyum tipis dan mengucapkan kata maaf.

"Oiya, ada keperluan apa nih?" Tanya Dellya to the point.

Putra dan Dion menarik bangku dekat Dellya lalu duduk dan memandang serius Dellya.

"Lo masih teken sama Derrio kan?" Tanya Putra yang diangguki Dion.

"Masih lah, kenapa emangnya?"
Putra dan Dion salang pandang-pandangan beberapa detik lalu mengangguk bsrsamaan.

"Jadi gini, lo ngerasa gak sih Derrio itu berubah?" Dion angkat bicara.

Dellya sudah tebak kalau mereka akan menanyakan ini padanya.

"Ngerasa sih, ngerasa banget malah. Tapi, gue kan pacarnya bukan istrinya. Diakan punya privasi tersendiri." Lidah Dellya terasa kelu mengucapkan kata bohong seperti itu. Tapi, mau gimana lagi? Sudah terlanjur berbohong dari awal kan?.

"Yaudah deh kalau lo juga gak tau kenapa. Tapi gue harap, lo bisa ngerubah dia jadi Derrio yang dulu. Karna gue, Dion, sama Renald, kangen banget sama dia yang dulu."

Usai mengucapkan kata itu. Mereka pergi meninggalkan Dellya sendirian dengan Yaya yang sedari tadi menguping penasaran. Berhubung guru pelajaran belum masuk, Yaya mendekati Dellya dan duduk di bangku yang ditempati Dion tadi.

"Gile, itu anak SMP kok pada ganteng yak? Apalagi yang make behel, udah ganteng, rapi, wangi pulak tuh. Bangku nya aja masih terasa wanginya." Cerocos Yaya menghirup udara sebanyak-banyaknya berusaha mendapatkan aroma Dion yang tertinggal. Dellya pun mengakui itu, Dion memang lebih ganteng daripada Putra, ditambah lagi kerapiannya yang menambah nilai plus bagi kaum hawa.

Behind The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang