Dimensi 25 (part 1)

195 31 8
                                    

Dimensi selanjutnya. Sudah ku duga, pasti aku tidak bisa langsung pulang. Jika pada dimensi sebelumya waktu menunjukkan siang hari, pada dimensi 25 menunjukan waktu tengah malam. Yap! Sekitar jam 00:15. Hening karena mereka semua sudah tertidur, mungkin. Tiga meter di sebelah kiri ku terdapat sebuah rumah yang bisa dibilang mewah. Rumah berlantai dua, tapi pondasinya dari kayu.

Tidak jauh di belakangnya juga terdapat rumah-rumah lain, di selingi pepohonan dan jalan setapak yang lawas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak jauh di belakangnya juga terdapat rumah-rumah lain, di selingi pepohonan dan jalan setapak yang lawas. Ku telusuri jalan setapak tersebut. Di tikungan aku bertemu seorang kakek. Dia hendak masuk ke sebuah rumah dan langkahnya dibantu oleh tongkat. Kasihan, sudah tua malam-malam begini sedang apa? Ku hampiri kakek itu. Dia kesulitan untuk melangkah melewati bebatuan karena tongkatnya tersangkut. Dia menerima ku dengan baik. Tersenyum ramah dan mengucap terimakasih.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya dengan lembut.

"Belum tau kek..."

"Kamu tersesat?"

Seketika aku terkejut karena si kakek itu tau kalau aku ini sedang tersesat.

"Pantas saja bajumu berbeda dengan remaja seusiamu. Pasti kamu dari desa lain."

"Iya..." aku tidak bisa bilang kalau aku entah dari mana, nanti malah urusannya tambah repot.

"Ayo, masuk. Menginaplah di rumah kakek. Ini sudah malam."

Pilihan yang sulit. Pikiranku langsung mengarah, ADA APA DI DALAM RUMAH ITU?

"Tidak usah malu. Anggap saja ini balas budi dari kakek," ia sudah di depan pintu rumah.

Aku langsung menyusulnya dan dipersilahkan masuk. Kalau kalian tau rumah adat Jepang zaman dulu, ya kurang lebih seperti itu. Ruang tamu di lantai dua. Aku di persilahkan duduk dan sediakan teh hangat, lalu ia kembali ke dapur untuk mengambil camilan. Penerangannya termasuk kurang. Mungkin dimaksudkan agar tidak mengganggu anggota keluarga lain maupun tetangga yang sedang tertidur.

Kemudian, seorang nenek-nenek dengan rambut berantakan keluar dari sebuah ruangan. Dia berjalan melewati ku menuju ruangan lain. Saat dia menoleh, aku mencoba menyapanya dengan senyum. Tapi sepertinya dia tidak suka. Tidak lama berselang, si kakek kembali sambil membawa camilan dengan menggunakan wadah tradisional. Saat itu kami berbincang hal-hal yang ringan. Si kakek ternyata tau kalau aku ini dari masa lain. Bersumber dari logat ku, gaya rambut dan berpakaian. Disindir tentang gaya rambut, aku baru sadar bahwa rambut ku ini tidak karuan, ada yang masih terikat oleh karet kucir dan ada yang tidak. Pantas saja si nenek tadi tidak menyukaiku, mungkin karena kebetulan rambutku sedang berantakan. Tapi yang mengejutkan ku adalah ketika aku bilang kalimat tadi, si kakek berkata bahwa istrinya sudah meninggal. Mereka tidak mempunyai anak sama sekali. Mangkanya jika ada anak muda yang butuh bantuan, ia rela menyediakan rumahnya untuk tempat singgah, hitung-hitung agar rumahnya terasa ramai. Tapi dia tidak memungkiri jika mantan istrinya itu memang sering menampakkan diri. Dan jika ia bertemu dengannya, mereka masih memiliki hubungan yang baik. Jadi, tidak ada dendam ataupun rasa bersalah di antara mereka. Sebagai tamu aku mencoba menghargai si kakek yang telah menyambutku dengan baik dan si nenek yang mungkin sedang mendengar pembicaraan kami.

"Kakek mau menyiapkan kamar mu dulu ya. Ngomong-ngomong kakek lupa menaruh tempat tidurnya di mana," ujarnya sambil beranjak dari posisinya duduk.

Ku bantu ia untuk berdiri dan berkata, "Tidak usah repot-repot kek..."

"Tidak apa. Kakek malah senang ada tamu. Kamu boleh melihat desa ini, tapi jangan keluar. Sudah malam."

"Jendela?"

"Silahkan," dia kembali pergi ke lantai bawah.

~

Maaf kalau ada salah tulis. Jika kalian menemukan text ini selain di Wattpad, berarti text tersebut telah di copy paste tanpa izin.

PORTAL (true story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang