Chapter 14

5.9K 250 12
                                    

JUSTIN

Darah segar mengalir di tanganku. Tidak peduli betapa sakitnya luka gores yang menghasilkan darah ini. Aku senang melihat darah. Aku senang jika diriku diliputi oleh perasaan bahagia namun orang lain tidak akan pernah mengerti perasaan ini, kecuali Ayahku. Sial, tapi perasaan itu sedang tidak meliputi diriku. Kekecewaan sekaligus ketakutan sedang menghampiri diriku. Inilah titik kelemahanku. Aku adalah orang kuat yang jatuh, kalah di sebuah pertandingan. Hanya karena seorang wanita yang kuusir dari rumah ini. Ini semua bukan skenario yang kuinginkan. Belum saatnya ia mengetahui aku adalah seorang psikopat. Tapi terlanjur, aku tidak bisa menyalahkan kakekku. Semua ini memang salahku karena telah merahasiakan ini sejak awal. Kakekku tentu akan melindungi –mantan—kekasihku dari sifatku yang bisa dibilang tidak dapat dikontrol. Kugelengkan kepalaku, berusaha untuk tidak merasa kehilangan. Dia pembohong, yeah, dia hanyalah seorang pengkhianat. Dia sama seperti wanita-wanita lainnya yang berbohong padaku. Mengapa ia tidak ingin memberitahu padaku yang sebenarnya? Sekalipun ia telah berjanji untuk tidak akan meninggalkanku. Aku tidak ingin berada di sisinya jika tiap kali ia menatapku dengan tatapan penuh rasa takut. Aku tahu apa yang ada dipikiran Faith. Semua yang seharusnya berjalan dengan baik, hancur dengan mudah. Dan aku harus membunuh Florek karena ia yang membuat rahasiaku terbongkar! Sialan! Aku telah menaruh kepercayaanku padanya dan ia membocorkannya pada orang yang tidak ingin berpacaran dengan seorang psikopat? Sekarang aku tidak peduli apakah ia kakekku atau bukan. Ini semua tentang kejujuran dan kepercayaan!

Mata Faith yang menatapku penuh ketakutan untuk yang pertama kalinya di dalam perpustakaan tadi menjelaskan segalanya. Terlebih lagi satu buah foto mayat yang pernah kubunuh berada di bawah kaki kakekku. Dan ia berbohong padaku? Oh, Faith harus tahu kalau ia bukanlah seorang yang bisa berbohong. Perbedaan dari mata dan mulut sangatlah terlihat. Dari jarak jauh ia menatapku seolah-olah aku adalah penjahat yang akan membunuhnya. Tapi kenyataan mengatakan padaku bahwa aku mencintainya. Sebelum aku tahu ia berbohong padaku dan mengetahui siapa diriku yang sebenarnya. Aku masih belum bisa terbuka padanya. Terpaksa aku mengusir Faith karena aku tidak mau Faith tersakiti oleh tanganku sendiri. Aku mungkin tidak akan mau bertemu dengan Faith lagi. Mungkin tadi adalah perpisahan terakhir yang cukup tragis bagiku dan dirinya. Biarkan ini menjadi pelajaran bagiku. Dan hutang Ibu Faith padaku sudah sepenuhnya lunas padaku. Aku telah merasakan tubuh anaknya yang lezat. Dan mungkin tambahan ekstra, kelembutannya.

Ketukan pintu membuat kepalaku mendongak langsung menatap cermin bundar yang sudah retak akibat tinjuan berlumuran darah. Cerminanku bagaikan Iblis. Aku memang berperan sebagai Iblis sekarang. Apa yang dikatakan Faith padaku adalah sepenuhnya benar. Ada Iblis dalam tubuhku. Faith adalah Malaikat. Iblis dan Malaikat sangatlah berbeda. Tak pernah tersentuh sekalipun. Bagaikan langit dan bumi yang tidak akan pernah menyentuh satu sama lain. Ketukan pintu itu kembali terdengar.

"Masuklah," ucapku menjauh dari cermin. Carla muncul dari pintu kamarku dengan pakaian tidurnya. Ia terlihat cantik. Gaun tidurnya benar-benar tipis, sial, mengapa membuat segalanya semakin sulit? Tidak, aku baru saja kehilangan Faith. Ia tidak mungkin mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini. Ternyata dugaanku salah, ia membawa sebuah kotak obat. Mengapa ia tahu bahwa aku terluka?

"Aku mendengar suara pecahan kaca dari luar. Kurasa kau terluka, jadi aku datang membawa ini," ucapnya menjawab pertanyaan dalam pikiranku. Aku mengangguk, berjalan menuju tempat tidur. Pencahayaan kamarku yang remang-remang semakin mendukung suasana. Carla berjalan lalu menutup pintu. "Aku sungguh menyesal mendengar pertengkaranmu dengan Faith, tapi sebenarnya, ia adalah gadis yang sangat baik, Justin," ucap Carla mengungkit permasalahanku. Tapi tidak ada yang bisa kukatan selain mengangguk kepala. Aku terduduk di atas ranjang dan ia ikut menyusul terduduk di sebelahku. Ia mulai membuka kotak obat dan mulai mengobatiku.

Right Mistakes by Herren JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang