satu

10.1K 495 10
                                    

“Cluster headache itu apa?”
“Penyakit.”
“Penyakit apa?”
“Sakit kepala.”
“Ada gitu, ya? Apa sampai separah itu?”
“Nggak berbahaya, cuman nggak bisa sembuh aja.”
***

“Lo masih naksir dia?” Seorang pria mencoba menyeimbangkan langkah kakinya dengan gadis yang ia kejar sepanjang koridor sekolah ini. Sengaja tidak memanggil namanya karena percuma saja gadis ini tidak akan mendengarnya.

“Hm?” lawan bicaranya hanya berdeham bermaksud meminta temannya mengulangi ucapannya.

“Masih naksir sama dia?”
Bukannya menjawab, gadis ini malah mengalihkan pandangannya dan tersenyum-senyum sendiri.

Tatapannya menunjukan bahwa dirinya tengah membayangkan sesuatu.

Pria yang ber-name tag Iqbaal Dhiafakhri ini hanya mampu memutar matanya kesal. Selalu seperti ini jika ia menanyakan pertanyaan yang sama terhadap (Namakamu), yang notabenenya adalah sahabatnya sejak 2 tahun lalu. 2 tahun lalu itu artinya sejak dirinya masuk sekolah di SMA ini.
Yang dimaksud pertanyaan Iqbaal adalah Alvaro Maldini. Murid kelas XII IPA 3 di SMA ini yang sudah dari 2 tahun yang lalu ditaksir oleh (Namakamu). Sukanya sih sudah lama tapi nggak jadian-jadian. Itu karena (Namakamu)-nya yang pemalu dan tidak berani memulai duluan. Lagipula Aldi ini orang yang dingin dan terkesan cuek. (Namakamu) tahu Aldi tapi Aldi tidak tahu dirinya.
Miris? Memang.

Iqbaal memutar kepalanya agar dapat melihat wajah (Namakamu) dari samping. Oh hari ini gadis itu memakai kacamata. Biasanya (Namakamu) hanya menggunakan kacamata tersebut saat belajar, tapi entah mengapa sekarang ia malah memakainya. Yap, (Namakamu) memiliki mata minus yang tentu saja tidak normal dengan yang lainnya. Menurut Iqbaal, itu sama saja. Tidak merubah sedikitpun pesona yang dipancarkan dari wajah (Namakamu).

“Istirahat di kantin, ya? Telat gue tabok lo!” ucap (Namakamu) sebelum dirinya hilang ditelan pintu kelas XII IPA 1.

Iqbaal menghentikan langkahnya dan tersenyum geli melihat tingkah (Namakamu). sahabatnya itu selalu mengucapkan kalimat yang sama sebelum masuk ke kelasnya, walau Iqbaal yakin bahwa (Namakamu) sudah bosan mengucapkan kalimat tersebut.
Kakinya kembali melangkah menuju kelasnya yang letaknya bersebelahan dengan kelas (Namakamu). Iqbaal tersenyum-senyum sendiri saat tadi melihat (Namakamu) memakai kaus kaki yang berbeda warna yang pendeknya hanya semata kaki. Tidak disengaja. Bahkan pihak sekolah melarangnya. Hanya saja, (Namakamu) memang gadis yang unik. Dia gadis dengan sejuta phobia yang aneh.
***

Gadis ini sudah hampir 10 menit menunggu Iqbaal di meja kantin yang letaknya paling sudut. Mengapa paling sudut? Agar dirinya bisa dengan leluasa melihat orang-orang yang lalu lalang di depannya. Sesekali mulutnya bergumam kata yang tidak jelas tapi terlihat sekali bahwa ia tengah kesal, menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Sudah 10 menit. Itu artinya tersisa 5 menit lagi untuk istirahat pertama. Waktu 5 menit digunakan dari jalan ke kelas sampai ke kantin, menurut (Namakamu).

(Namakamu) mengambil kentang gorengnya yang tinggal setengah yang berada di piring di hadapannya, lalu ia cocolkan pada sundae vanilla yang berada di sampingnya dan memasukkannya ke dalam mulut. Enak? Menurut (Namakamu). (Namakamu) malah tidak suka jika kentang goreng harus dicocolkan ke saus.
Kentang gorengnya sudah hampir habis itu tandanya sudah lama sekali ia menunggu Iqbaal. (Namakamu) kembali mengambil kentang gorengnya dan mencocolkannya pada sundae vanilla, kali ini dengan tenaga kuat—karena kesal—hingga tempat sundae itu bergeser.
Kekesalannya perlahan menghilang saat melihat seorang pria dengan gayanya yang khas berjalan menghampirinya. Eh? Tidak. Tidak mungkin jika Aldi akan duduk semeja dengannya. (Namakamu) melirik meja yang berada di depannya. Masih kosong. Dan (Namakamu) yakin bahwa Aldi tidak akan duduk di depannya. Tapi tunggu, Aldi tidak sendiri. Seorang wanita berjalan di belakangnya dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya, Salsha.
Oh, Si Moodbreaker.

AFRAID - Novita AnassatiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang