Tiga

3.8K 298 1
                                    

***
“Farrel!! Farren!! Kaos kaki gue!” suara lantang (Namakamu) mengisi keheningan yang bisanya terjadi di pagi hari tepat jam segini(?)
Biasanya jam-jam seperti ini suasana rumah hening, tenteram. Penghuni rumah juga sibuk dengan kegiatan masing-masing untuk mengawali hari-hari mereka. Berbeda dengan hari ini dan hari-hari yang akan datang. Jarum jam masih menunjukan pukul 06.15 tapi (Namakamu) sudah mengeluarkan suaranya yang beroktaf tinggi itu.
“Kaos kaki gue ah! Nggak mau tahu! Farrel Farren!!” (Namakamu) yang tadinya sudah siap berangkat sekolah, kini kembali masuk ke dalam rumah dengan kedua tangan mengepal erat. Dirinya sudah cantik, sudah rapih, dan kini dibuat kesal dengan kedua anak mars itu.
(Namakamu) melihat dari kejauhan Farrel dan Farren yang sedang khidmat menikmati sarapannya di meja makan. Mereka duduk berduaan dengan semangkuk bubur di depannya.
“Ada kak (Namakamu). Kabur kabur!” Farrel menyikut Farren yang tengah memasukan sendok berisi bubur ke dalam mulutnya. Mungkin karena Farrel menyikutnya terlalu kencang, sendok berisi bubur tersebut malah masuk ke dalam lubang hidung Farren.
Farrel turun dari kursinya meninggalkan Farren yang sibuk mengeluarkan sebagian bubur yang masuk ke dalam hidungnya.
“Tante, kak (Namakamu)-nya mau gantung Farrel. Tante!!” Farrel sibuk berteriak sembari menaiki anak tangga satu persatu. Padahalkan (Namakamu) belum berkata apa-apa tapi Farrel sudah kelabakan sendiri. Berarti benar. Kedua anak mars inilah pelakunya.
(Namakamu) mendengus dan menatap Farrel yang sudah berada diujung tangga. Ia tidak mau berlari-larian demi mengejar Farrel dan memarahinya. Membuang-buang tenaga. (Namakamu) memutar 90 derajat kepalanya dan mendapati Farren tengah sibuk mengorek-ngorek lubang hidungnya.-.tidak ada Farrel, Farren pun jadi.
Kaki (Namakamu) melangkah menghampiri Farren yang sudah mengetahui kedatangannya. “K-kak (Namakamu) tar dulu kalau mau ke sini.” Dengan mudahnya (Namakamu) mengikuti perintah Farren. “Ambilin pinset buat ngambil ayam yang nyangkut di hidung Farren.”
(Namakamu) memutar kedua bola matanya dan kembali melanjutkan langkahnya. Namun langkahnya kembali berhenti ketika suara wanita setengah baya menyerukan namanya. (Namakamu) tidak mampu untuk tidak menahan matanya, ia berbalik dan mendapati ibunya berjalan menuruni tangga dengan Farrel yang memegang tangannya.
“Ada apa sih pagi-pagi udah ribut?” tanya mamah (Namakamu) menunjukan ekspresi kesal karena terganggu.
“Kaos kaki (Namakamu) jadi putih polos trus dicoret-coret pakai crayon! Mana gambarnya stoberi lagi!”
“Itu karena kita nggak mau kak (Namakamu) pakai kaos kaki bayi yang beda warna.” Celetuk Farrel yang bergelendotan manja pada lengan tantenya tersebut. Farrel dan Farren tahu jika (Namakamu) sering memakai kaos kaki beda warna yang tingginya hanya semata kaki. Mereka menyebutnya kaos kaki bayi-.-
“Diem!” bentak (Namakamu) refleks dan membuat Farrel terkejut.
“Ambil kaos kaki lagi di laci sana. Trus berangkat. Bentar lagi Iqbaal nyamper, kan?” mamah (Namakamu) sengaja mencoba mencegah (Namakamu) kembali membentak Farrel seperti itu lagi. pertanyan mamahnya itu tidak digubris oleh (Namakamu). Gadis ini memilih pergi meninggalkan ruangan yang sudah membuatnya kesal setengah mati.
Farrel mendangakkan wajahnya untuk melihat wajah tantenya tersebut. Mamah (Namakamu) menunduk dan mengusap rambut Farrel lembut, beliau tahu Farrel pasti takut jika (Namakamu) bersikap seperti tadi padanya. “Kak (Namakamu) emang emosian. Jangan sama-samain kak (Namakamu) sama teteh kalian, ya?”
***
“Lama banget, sih.”
“Tapi motornya di parkiran nggak ada.”
“Jangan-jangan dia nggak masuk!”
“Atau telat? Eh dia kan nggak pernah telat.”
“Tapi biasanya jam segini udah datang.”
Iqbaal Dhiafakhri yang berada di sampingnya hanya mampu diam dan menyandarkan tubuhnya pada tiang yang berada di dekat balkon koridor ini. Mendengarkan semua ocehan (Namakamu) yang kesal karena menunggu pangeran impiannya yang tak kunjung datang. Sudah hampir 30 menit dirinya berdiri di sini hanya untuk menunggu Alvaro Maldini.
“Sabar aja, sih.” Hanya itu komentar yang Iqbaal berikan pada (Namakamu) jika gadis itu mulai mendumel tidak jelas.
(Namakamu) dan Iqbaal berada di lantai dua sekolahan mereka untuk melihat Aldi yang akan memarkirkan motornya di parkiran nanti. Jarak parkiran motor dengan gedung sekolahnya tidak terlalu jauh. Jadi, (Namakamu) bisa dengan bebasnya melihat siapa saja yang baru datang.
Sebenarnya kelas (Namakamu) dan Iqbaal di bawah. Kelas XII IPA 1 dan 2 di bawah. Sedangkan XII IPA 3 dan 4 di atas. (Namakamu) naik ke lantai 2 hanya ingin melihat Aldi saja. Iqbaal? Pria ini akan selalu mengikuti kemana pun (Namakamu) pergi.
“I-itu dia! itu dia datang! Gila! Liat-liaattt!!” tangan (Namakamu) menarik kasar lengan baju Iqbaal hingga membuat Iqbaal meringis. Sebenarnya (Namakamu) tidak perlu menarik lengan baju Iqbaal, pria ini pun sudah tahu.
“Iya iya gue tahu!” Iqbaal menepis tangan (Namakamu) dan merapihkan seragamnya. Ia sedikit kesal dengan tingkah (Namakamu) yang selalu anarkis terhadapnya jika melihat Aldi-.-
Iqbaal ikut memperhatikan apa yang menjadi objek (Namakamu) saat ini. Seorang pria dengan ninja merahnya tengah turun dari motornya. Membenarkan tali tas punggungnya dan berjalan dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Setiap gerakan, tindakan yang dilakukan oleh Aldi selalu mendapatkan pujian dari (Namakamu). Entah apa yang menarik dari pria tersebut tapi menurut Iqbaal, dirinya lebih cool dibandingkan pria yang tengah berjalan di sana.
“Alay banget, sih!” gumam Iqbaal memutar matanya ketika melihat (Namakamu) menahan teriakan seolah-olah ia tengah bertemu artis idolanya yang sudah ia idolakan sejak lahir. Plis deh (Namakamu), dia itu cuman orang. Bukan pangeran! Pikir Iqbaal.
“Turun, yuk!” Iqbaal menarik tangan (Namakamu) menuju anak tangga, karena Iqbaal merasa murid-murid yang berada di sekitarnya mulai memperhatikannya karena tindakan (Namakamu) yang di luar akal manusia. Iqbaal tidak mau jika ia harus menjadi bahan gosipan pagi ini.
(Namakamu) menahan tangan Iqbaal yang menariknya dengan berpegangan pada sisi balkon._. “Eh-eh tar dulu!” gadis ini langsung menepis kasar tangan Iqbaal dan kembali pada posisi awal dengan melihat-lihat ke bawah. Kembali mencari objek yang daritadi ia perhatikan. Tak lama kemudian bahu (Namakamu) merosot.
“Yah, Aldi-nya hilang,” ujar gadis ini dengan wajah sedih. Lalu pandangannya beralih pada Iqbaal dengan pandangan seolah-olah ia ingin menerkam pria ini. “Lo sih ah!”
Iqbaal yang merasa tidak bersalah hanya mampu mengerutkan keningnya. “Kok gue?” selalu gue, tambah Iqbaal dalam hati.
Bibir (Namakamu) mengerucut dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. (Namakamu) menghentakkan kakinya kesal ke lantai dan membalikan tubuhnya dengan cepat, untuk segera pergi dari tempat ini. Untuk apa berdiam-diam di sini tanpa adanya tujuan?
Sepertinya (Namakamu) terlalu cepat bergerak sehingga menabrak seseorang yang tidak sengaja melintas di belakangnya. Hal ini membuat (Namakamu) mengaduh dan sempat bergeser—bahkan ingin limbun karena benturan tersebut. Tapi seseorang yang ia tabrak menahannya dengan menarik tangannya.
(Namakamu) berdecak dan berniat memarahi seseorang tersebut. Ketika pandangannya bertemu dengan orang tersebut, (Namakamu) mengurungkan semua niatnya itu. Ia tidak akan memarahi orang tersebut, jangankan memarahi, berkata kasar satu kata saja (Namakamu) tidak ingin.
“Kalau jalan pelan-pelan.” Aldi tersenyum tipis dan mengacak-acak rambut (Namakamu) lalu pergi meninggalkan cewek yang masih mematung menatapnya.
Mulut (Namakamu) menganga dengan mata berkaca-kaca dilengkapi dengan ekspresinya yang sulit diartikan. (Namakamu) menatap punggung Aldi sampai akhirnya pria itu hilang ditelan pjntu kelas XII IPA 3 yang ruang kelasnya berada paling ujung di koridor ini.
Iqbaal yang melihat kejadian tadi hanya mampu menutup wajahnya dan menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Iqbaal yakin setelah ini (Namakamu) akan melakukan aksi yang menarik perhatian banyak siswa dan siswi.
(Namakamu) masih tidak bergerak dengan posisinya. Mencoba kembali mengulang kejadian apa yang telah terjadi beberapa menit lalu. Ia berhadapan dengan Aldi, tangannya digenggam Aldi, disenyumi Aldi dan—itu membuat (Namakamu) ingin menjerit saat ini juga. Tapi entah mengapa ia merasa tidak bisa melakukan itu. Diperlakuin gitu sama orang yang lo suka..., it’s something.
“Hmppphh!! Iqbaal..Iqbaal! Gila gila gila! Lo liat tadi, kan? Ya ampun ya ampun. Dia—ha!!” (Namakamu) loncat-loncat tidak jelas, memukuli Iqbaal dan menahan teriakan sebisanya. Wajahnya memerah tapi terlihat sekali bahwa (Namakamu) senang mendapat perlakuan seperti itu dari Aldi.
Iqbaal yang menjadi bahan pelampiasan oleh (Namakamu) mencoba menepis semua pukulan dari (Namakamu) dan menyuruh agar gadis itu diam, sebelum membuat beberapa murid di sini melemparkan lakban dan tali pada Iqbaal untuk mengikat (Namakamu).
***

AFRAID - Novita AnassatiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang