Sebelas

2.3K 207 8
                                    

***

Iqbaal sama sekali tidak mengerti dengan penyakit yang dialami oleh (Namakamu). Iqbaal sendiri belum bertanya mengenai penyakit (Namakamu) pada tante Ashiya. Jika disuruh menebak (Namakamu) sakit apa, Iqbaal sama sekali tidak tahu. Yang Iqbaal tahu (Namakamu) mempunyai penyakit sering pingsan—yang entah apa nama penyakit sebenarnya—yang sudah lama diidap (Namakamu). Apa saat ini penyakit itu berkembang menjadi ganas? Iqbaal memejamkan matanya dan mengumpat mengutuk pikirannya sendiri. Ia tidak boleh berpikiran yang buruk tentang (Namakamu). (Namakamu) pasti sembuh. Ia yakin!

Saat ini Iqbaal duduk sendirian di ruang tunggu menunggu tante Ashiya keluar dari ruangan dokter yang tengah membicarakan mengenai penyakit (Namakamu). Ternyata Aldi sudah pulang ketika pria itu meminta izin keluar sebentar pada Iqbaal dan (Namakamu) saat di ruangan tadi.

Sudah hampir 15 menit Iqbaal duduk di sini dan bergemelut dengan pikirannya yang tidak pasti mengenai (Namakamu). Ia berharap tante Ashiya cepat keluar dari ruangan dokter dengan senyum merekah di wajahnya sembari mengatakan pada Iqbaal bahwa, "(Namakamu) baik-baik saja."

'Clek'

Apa yang barusan diharapkan Iqbaal terjadi. Tante Ashiya memang keluar dari ruangan dokter tapi..., dengan pipi yang berlinang airmata. Iqbaal tahu tante Ashiya sudah berusaha menepisnya dan mencoba menyembunyikannya dari Iqbaal. tapi airmata itu terus terjun tak ingin henti seolah-olah penahan airmata dalam matanya itu sudah rusak(?)

"Tan?" Iqbaal menghampiri dan menuntun tante Ashiya untuk duduk di ruang tunggu yang tadi didudukinya.

Sebenarnya Iqbaal ingin menanyakan apa yang dikatakan oleh dokter tentang (Namakamu) supaya dirinya bisa cepat mendapatkan jawaban mengenai penyakit (Namakamu). Tapi, ia tunda beberapa menit untuk memberikan luang pada tante Ashiya yang mencoba menenangkan diri.

Iqbaal yakin (Namakamu) baik-baik saja. Iqbaal yakin tante Ashiya menangis terharu. Bukan menangis karena kesedihan. Ia yakin. Ia yakin (Namakamu) baik-baik saja. Semoga...

"Baal," tante Ashiya memanggil nama Iqbaal dengan suara yang bergetar.

"Iya, Tan?" Iqbaal mencoba menahan mulutnya agar tidak mengeluarkan pertanyaan lebih lanjut mengenai (Namakamu). Iqbaal tahu ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu.

Iqbaal sedikit menundukan wajahnya agar dapat melihat wajah tante Ashiya yang masih sibuk mengusap airmatanya. Beberapa detik kemudian tante Ashiya mengangkat kepalanya dan Iqbaal bisa melihat dengan jelas raut wajah kesedihan terukir di sana.

Entah mengapa Iqbaal merasakan sesak di dadanya saat ini.

"(Namakamu) baik-baik aja, kan, Tan?" tanya Iqbaal akhirnya. Ia tidak bisa memendam pertanyaan yang dari tadi bergemelut di kepalanya. Ia bisa-bisa tidak bisa tidur malam ini jika ia belum mendapatkan jawabannya.

Tante Ashiya termenung sejenak kemudian kembali menatap Iqbaal dengan tatapan sendu. Beberapa detik kemudian kepala tante Ashiya menggeleng lemah. Pertanda jawaban yang berbanding terbalik dengan harapan Iqbaal.

Iqbaal menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dengan tatapan masih mengarah pada Ibu dari (Namakamu). Tante Ashiya mengatakan (Namakamu) tidak baik-baik saja. Dan itu..., membuat Iqbaal terpukul. Ia merasakan tulang-tulang di tubuhnya saat ini tidak berfungsi dengan normal. Tubuhnya lemas, mungkin jika ia tidak berpegangan erat pada sisi kursi ia akan jatuh ke lantai saat itu juga.

"(Namakamu) butuh donor jantung."

Satu kalimat dari tante Ashiya berhasil menembus hatinya yang terasa semakin saat ini. Apa? Donor jantung? (Namakamu) sakit apa? Apa penyakitnya ini ganas? Hingga menyebabkan gadis itu membutuhkan donor jantung?

AFRAID - Novita AnassatiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang