Delapan

2.5K 237 3
                                    

***

'Bruk!'

"Sorry-sorry. Gue nggak sengaja."

"Misi-misi! Gue lagi buru-buru."

"Eh, permisi dong! Atau lo mau bulu mata palsu lo itu gue tarik?!"

Gerombolan anak perempuan dan laki-laki menghalangi koridor sekolah ini. Koridor di mana jalan yang akan menuju kantin. Memang seperti inilah kejadian yang selalu terjadi setiap istirahat. Sebagian murid bukannya ke kantin malah bergerumbul di koridor dan menghalangi jalan.

Iqbaal buru-buru ingin ke kantin. Ia yakin (Namakamu) sudah menunggunya. Iqbaal juga yakin sesampainya di kantin nanti ia akan dimarahi oleh (Namakamu) karena telat. Bukan begitu? Memangnya apa lagi yang akan terjadi selain yang dipikirkan Iqbaal barusan?

Pria ini telat karena tadi dirinya mengurus beberapa keluhan—yang menurut Iqbaal tidak penting—adik kelasnya yang tergabung dalam Japanesse Klub. Mereka semua berkata bahwa minggu ini tidak bisa masuk, apa saja yang harus dihapalkan, apa saja yang harus dibawa saat pertemuan selanjutnya, masuk jam berapa, dan lain sebagainya. Jujur saja pertanyaan terakhir yang dilontarkan itu membuat Iqbaal ingin melempar bola basket ke wajah adik kelasnya tersebut.

Selain kejadian itu yang membuatnya telat, Iqbaal juga tadi disuruh untuk membantu tumpukan buku tulis kelasnya oleh gurunya yang harus ia bawa ke ruang guru. Mengapa harus Iqbaal? Memangnya tidak tahu apa kalau kelas Iqbaal ke ruang guru itu sangat jauh? Gedung kelas Iqbaal dengan gedung ruang guru di sekolah ini berbeda. Berjalan cukup jauh dengan setumpuk buku di tangan. Itu sangat..., menjengkelkan!

Wajahnya sedikit ia tundukan untuk melihat arloji yang ia kenakan. Beberapa menit lagi bel masuk. Bahkan saat ini Iqbaal tidak yakin jika (Namakamu) masih menunggunya di kantin. Well, tidak salahnya sih mencoba.

Baru Iqbaal ingin mengangkat kepalanya untuk melihat jalan, sesuatu yang keras menabrak dirinya hingga hampir limbun jika Iqbaal tidak berpegangan pada tembok koridor ini. Iqbaal mengumpat karena seseorang telah menabraknya begitu kencang.

"Kalau jalan matanya dipake! Apa perlu—

Ucapan itu tidak Iqbaal lanjutkan beberapa detik setelah matanya bertatapan langsung dengan seseorang yang menabraknya.

"Wih, Iqbaal Si Bodyguard baru keliatan. Kemana aja lo kemarin?" Tangan seseorang yang telah dengan sengaja—pikir Iqbaal—menabraknya terangkat. Bermasud ingin merangkul atau pun menepuk pundak Iqbaal.

Iqbaal bergeser menjauh sebisa mungkin dari seseorang tersebut. Tanpa disadarinya kini kedua tangannya mengepal erat ketika otaknya memutar kembali tentang kejadian yang menimpa (Namakamu) karena pria itu. Karena..., Bidi.

"Apa yang udah lo lakuin ke (Namakamu)?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Iqbaal tanpa memperhatikan kondisi sekitarnya yang mulai memperhatikannya.

Bidi tampak mengerutkan samar keningnya. Difa dan Cassie yang berada di belakang Bidi tampak tengah berbisik membahas sesuatu yang tidak ingin Iqbaal tahu. Yang jelas saat ini Iqbaal ingin membalas semua emosinya pada Bidi karena sudah mempermalukan (Namakamu) di depan umum kemarin.

Bidi merentangkan kedua tangannya dan menjatuhkannya ke sisi tubuhnya. Lalu pria itu menghirup napas panjang seolah-olah selama ini ada beban berat yang hinggap di pundaknya. Iqbaal meringis melihat apa ang barusan dilakukan Bidi, terlalu dilebih-lebihkan sekali, pikir Iqbaal.

"Bukannya jaman sekarang udah banyak yang ngelakuin itu?"

"Maksudnya?" Iqbaal benar-benar tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Bidi.

AFRAID - Novita AnassatiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang