Dua

4.9K 371 1
                                    

“Kalau lo mau pingsan, bilang ke gue dulu. Lo nggak tahu seberapa paniknya gue saat lo pingsan tadi.”
Ucapan Iqbaal membuat (Namakamu) menolehkan kepalanya dengan perlahan. (Namakamu) bisa melihat dari wajah Iqbaal bahwa pria itu serius dengan ucapannya.

(Namakamu) tadi memang pingsan secara tiba-tiba. Tapi jika ingin pingsan dirinya tidak pernah terlebih dahulu memberitahu Iqbaal -___-

“Ini terjadi secara tiba-tiba, Baal. Jadi jangan salahin gue.”
Satu lagi keanehan (Namakamu), gadis ini terkadang pingsan tiba-tiba di mana saja, tidak mengenal tempat dan waktu dan tanpa alasan yang jelas.

Mendengar nada suara yang lemah dari (Namakamu) membuat Iqbaal merasa bersalah sudah mengatakan hal tersebut padanya. Apalagi saat di kantin tadi Iqbaal mengatakan bahwa (Namakamu) mempunyai penyakit yang aneh.

“Udah periksa ke dokter?”
Iqbaal selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap penyakit aneh (Namakamu) kambuh.

“Nggak perlu dokter. Gue nggak apa-apa. Kata mamah papah juga nggak ada kelainan di organ tubuh gue. Kata mamah juga penyakit ini nggak berbahaya,” jawab (Namakamu), dari nada suaranya terdengar jelas bahwa ia sama sekali tidak menyukai semua hal yang berkaitan dengan rumah sakit.

“Tapi, kan, seenggaknya lo tahu penyebab lo pingsan mulu itu apa.”

“Mungkin gue nggak boleh terlalu capek,” ucap (Namakamu) dengan polosnya dan menatap Iqbaal yang menatapnya dengan tatapan aneh.
(Namakamu) sudah mengalami ini hampir 2 tahun. 2 tahun dengan kejadian yang ia tidak tahu apa itu namanya. Intinya, (Namakamu) seringkali pingsan tiba-tiba. (Namakamu) dan Iqbaal sudah pernah mencari apa nama penyakit yang di idap (Namakamu) di google, tapi tidak ketemu. Tapi (Namakamu) yakin bahwa penyakitnya ini tidak berbahaya. Setidaknya untuk sementara waktu.

“Gue mau balik ke kelas, gue nggak mau ketinggalan pelajaran cuman gara-gara nemenin orang dengan penyakitnya yang aneh.” Iqbaal bangkit dari duduknya dan berjalan keluar UKS. Ia benar-benar ingin meninggalkan (Namakamu) di sini. Pasalnya sudah 30 menit dirinya dan Iqbaal berada di sini.

“Jangan pernah bahas penyakit gue lagi!” ucap (Namakamu) lantang disusul suara gedebug keras dan suara Iqbaal yang mengaduh kesakitan. Iqbaal berbalik sembari mengelus bagian belakang kepalanya yang sakit dan terkejut melihat (Namakamu) yang sudah siap melempar sepatu miliknya yang satu lagi.

***
Angin yang berhembus menemani kedua insan yang tengah berjalan bersama di sekitar komplek perumahan ini. Suara langkah kaki yang terdengar sedikit menghilangkan keheningan yang terjadi di antara mereka.
Iqbaal dan (Namakamu) memilih berjalan kaki setiap pulang-pergi ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekitar 10 menitan. Iqbaal bisa saja mengendarai motor untuk sampai ke sekolah, tapi ia tidak ingin padahal ia punya. Kan lumayan, (Namakamu) bisa menebeng nantinya.
Iqbaal mengabaikan semua ocehan (Namakamu) yang gadis itu lakukan dari keluar sekolah sampai sekarang. (Namakamu) terus berbicara mengenai ucapan salam sehari-hari dalam bahasa jepang. Sepertinya sih niatnya (Namakamu) hanya ingin pamer pada Iqbaal jika dirinya bisa berbahasa jepang. Padahal Iqbaal lebih bisa daripada (Namakamu). Iqbaal adalah ketua ekskul Japanese Club di sekolahnya.
“Konnichiwa, konbanwa, oyasumi nasai, tadaima, okaerinasai, sumimasen, sayounara. Hm, bener, kan, Iqbaal-kun?”
Iqbaal hanya berdeham untuk menjawab pertanyaan (Namakamu). Semua yang diucapkan (Namakamu) sama sejak tadi. Tidak ada bedanya.
“Lo kalau mau ngapalin yang lain dong. Masa yang dihapalin salamnya aja. Gimana mau cepet bisa,” komentar Iqbaal melirik (Namakamu) yang masih sibuk bergelut dengan hapalannya.
“Bawel lo!”
“Lo kalah sama anak kelas 10 yang udah hapal huruf Hiragana sama dakugen dan segala macemnya.” Oh, jadi Iqbaal membandingkan (Namakamu) dengan anak kelas 10 yang Iqbaal ajar di ekskul Japanese Club.
“Eh, yang ada kata gozamasu itu apa?” inilah kebiasaan (Namakamu). Suka mengalihkan pembicaraan.
Iqbaal memutar kedua bola matanya kesal. Begitu saja tidak hapal. “Banyak! Salah satunya Ohayou gozaimasu, arigatou gozaimasu. Gozaimasu. Bukan gozamasu!”
Jawaban Iqbaal hanya mendapat anggukan dari (Namakamu). Iqbaal mendesah dan menggelengkan kepalanya perlahan. Beberapa hari yang lalu tiba-tiba saja (Namakamu) meminta Iqbaal untuk mengajarinya bahasa Jepang. Entah apa yang telah terjadi pada gadis itu sehingga ingin belajar bahasa jepang. Padahalkan bahasa jepang masuk dalam 5 bahasa yang sulit dipelajari di dunia.
Tiba-tiba saja langkah kaki (Namakamu) berhenti. Iqbaal langsung terjaga karena takut (Namakamu) pingsan. Tapi tidak. (Namakamu) berhenti dan terdiam, terlihat bahwa ia tengah berpikir.
“Ada apa?” tanya Iqbaal kesal karena sudah membuat dirinya khawatir.
“Kalau kata gozaimasu-nya diganti boleh gak?”
“Diganti jadi apa?” tanya Iqbaal dengan nada yang ditarik-tarik. Iqbaal yakin (Namakamu) pasti akan mengatakan yang aneh-aneh.
“Hm, arigatou gozaimissyou,” jawab (Namakamu) dengan seringaian khasnya. Seringaian itulah yang membuat Iqbaal gemas ingin menampar (Namakamu) saat itu juga.
“Beda kata beda arti.” Iqbaal melanjutkan langkahnya dan (Namakamu) mengikutinya dari belakang. Telinga Iqbaal bisa mendengar (Namakamu) bergumam sesuatu yang tidak jelas.
Tiba-tiba saja Iqbaal tersenyum miring dan mencoba melirik (Namakamu) yang berada di belakangnya. Iqbaal langsung memutar tubuhnya dan nyaris saja (Namakamu) menabrak tubuh iqbaal jika Iqbaal tidak menahan kepala (Namakamu).
“Apa?” tanya (Namakamu) sarkastik.
“Boleh aja kalau itu diperuntukkan buat gue.”
Ucapan Iqbaal hanya mendapatkan tatapan sinis dari (Namakamu). Tanpa suara, (Namakamu) kembali berjalan dan kembali mengahapal hapalannya yang itu-itu saja, meninggalkan Iqbaal yang berdiri mematung menatapnya dengan senyuman mengembang di wajahnya.

AFRAID - Novita AnassatiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang