Sembilan

2.3K 219 0
                                    

***

Tangan (Namakamu) bergerak mengambil cappucino miliknya dan menyeruputnya perlahan. Mencoba mencairkan rasa panik yang sedang dialami dirinya saat ini. Ditengah minumnya, matanya melirik Aldi yang menatapnya dengan senyuman manis yang mampu membuatnya mati gerak saat itu juga.

"(Namakamu)!"

"Uhuk!" (Namakamu) tersedak cappucino-nya sendiri. Bagaimana tidak, ia tengah asyik meminum minumannya tiba-tiba seseorang dengan kerasnya menepuk punggungnya keras. Untung saja minuman dalam mulutnya tidak keluar mengenai wajah Aldi.

Aldi sibuk mengambil tissu yang berada di atas meja untuk membersihkan baju dan tetesan cappucino (Namakamu) yang ada di atas meja.

Setelah dirasa batuknya mereda, (Namakamu) menoleh. Mencari objek yang membuatnya tersedak hampir mati seperti tadi.

"Sialan lo! Untung gelasnya nggak ketelen," ucap (Namakamu) sarkastik pada Bastian yang tengah sibuk mengatur napasnya.

"I..iqbaal..."

Mata (Namakamu) membesar begitu saja ketika mendengar Bastian menyebutkan nama Iqbaal dengan terbata-bata. Iqbaal kenapa? Apa yang terjadi dengan Iqbaal? penyakitnya kambuh lagi? Ya Tuhan, (Namakamu) tidak bisa berpikir jernih saat ini.

"I-Iqbaal kenapa? Dia di mana sekarang, Bas?!" (Namakamu) berdiri dan mengguncang kuat bahu Bastian. (Namakamu) berharap Bastian tidak memberitahu bahwa penyakit Iqbaal kambuh lagi. (Namakamu) tidak tega melihat Iqbaal kesakitan.

"La..pang..an."

Tanpa penjelasan dari Bastian lagi, (Namakamu) langsung menyambar tas miliknya dan berlari menuju lapangan. Meninggalkan Aldi dan Bastian di kantin, yang masih menatap punggungnya yang semakin kecil. Ia tidak peduli jika harus kehilangan waktu-waktu dengan Aldi. Yang penting saat ini adalah Iqbaal.

Suara langkah kakinya menggema di koridor yang kosong ini. Koridor ini memang kosong karena sebagian—mungkin seluruh muridnya sudah pulang ke rumah masing-masing. Tapi, telinga (Namakamu) bisa mendengar jelas keributan yang terjadi di lapangan. Kini, pikiran (Namakamu) tidak lagi mengarah pada Iqbaal. Kemungkinan besar, Iqbaal bertengkar dengan Bidi. Di lapangan.

(Namakamu) mempercepat langkahnya saat mendengar Bidi mengumpat dan terdengar bunyi pukulan berkali-kali. Tidak hanya Bidi, ada suara Difa juga. Iqbaal baik-baik saja, kah?

Apa yang (Namakamu) pikirkan sangat berbeda dengan apa yang dilihatnya sekarang. Dari pinggir lapangan ini, (Namakamu) bisa melihat Bidi dan Difa...memukuli Iqbaal yang sudah terjatuh di tengah lapangan.

Tangan (Namakamu) terangkat untuk menutup mulutnya agar tidak menjerit saat itu juga. Tanpa diminta, kakinya melangkah cepat menghampiri Iqbaal. Mencoba menjauhkan Bidi dan Difa yang tengah sibuk memukul, menendang, dan menginjak tubuh Iqbaal dengan kuatnya.

"Bidi!" (Namakamu) menarik seragam Bidi dan Difa bergantian ke belakang. Mencoba melihat kondisi Iqbaal saat ini. Tapi Bidi maupun Difa menepisnya kuat hingga hampir membuat tubuh mungil (Namakamu) terhempas ke belakang.

(Namakamu) tetap berusaha menarik kedua pria itu agar menjauh dari Iqbaal. Tapi tidak bisa. Sungguh! Ia sudah mengeluarkan sekuat tenaganya untuk melawan Bidi tapi ia tidak bisa. Bahkan saat ini pipi (Namakamu) sudah bahas dialiri cairan yang sempat membasahinya kemarin, saat melihat Iqbaal meringis kesakitan.

"Bidi, stop! Bidi! Iqbaal bisa mati!" Bentakan (Namakamu) yang diiringi dengan sedikit isakan membuat Bidi menoleh ke arahnya. Tapi tidak dengan Difa, anak itu dengan giat memukuli Iqbaal yang bahkan saat ini tidak mampu melawan.

AFRAID - Novita AnassatiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang