01 | Baby Face Beauty

23K 1.6K 35
                                    

Terkadang, apa yang terlihat sempurna di mata orang, memiliki sebuah kekurangan di baliknya. Seperti sebuah goresan pada keramik antik, tidak terlihat namun kita bisa mengetahuinya ketika menyentuhnya dengan jemari, sebuah cacat kasat mata yang tidak pernah terlihat dan hanya bisa dirasakan. Tak pernah kekurangan satu hal pun secara materi tidak lantas pula membuatmu mendapatkan hidup bagaikan seorang putri raja, setidaknya begitu menurut Arabella Collins.

Jangan salah, kehidupan Arabella tidaklah buruk. Jauh dari kata buruk malah. Ia tidak perlu merasa khawatir akan apa yang akan dimakannya besok, atau apakah masih akan ada atap untuk berteduh dan pakaian untuk dipakai nanti. Tidak, seluruh kehidupannya telah terjamin oleh kedua orangtuanya, orang tua yang teramat menyayanginya sehingga membuatnya terkadang merasa sesak.

Terkadang ia berpikir apakah uang memang sepenting itu? Apakah uang dapat menjadikan kita bahagia? Bagi Arabella, kelimpahan materi bukan berarti dirinya bahagia namun ini juga bisa menjadi sebuah kutukan yang terkadang dapat membuat ketidaksempurnaan hidup di dalam dirinya semakin jelas.

Ketidaksempurnaan itu membuatnya memiliki satu sisi lain yang tidak diketahui siapapun. Sisi itu sudah menjadi sahabat Arabella sejak dulu, sejak ia mulai mengerti tentang arti kehidupan dan betapa munafiknya manusia.

Seperti saat ini, kemunafikan kembali menatapnya dalam sosok dua orang yang mengaku sebagai sahabat terbaiknya namun ternyata tidak lebih dari seorang penindas. Arabella bingung apa yang membuatnya percaya pada Kimmy dan Blair saat kedua orang itu mau berteman dengannya.

"Ayolah, Belle, kita hanya akan bersenang-senang selama beberapa jam." Kimmy, gadis yang sengaja melepaskan kancing teratas kemejanya, berkata dengan nada setengah merayu.

Arabella menggenggam tali tasnya erat dan menggigit bibir. Matanya menatap waspada kepada kedua orang itu karena kali terakhir ia menolak untuk bersenang-senang bersama mereka, Arabella mendapat sebuah tamparan pada wajahnya. Beruntung saat itu kedua orangtuanya sedang pergi ke luar negeri hingga Arabella tidak perlu bersusah payah menyembunyikan pipinya yang merah.

"A-aku rasa lebih baik aku pulang," jawab Arabella. Ia benci bagaimana suaranya terdengar kikuk dan tertahan.

Kimmy dan Blair saling menatap kemudian tertawa terbahak-bahak. Ketika mereka berhenti tertawa dan memandangnya, Arabella mendapati dirinya mengkerut dan melangkah mundur. Sungguh sial baginya karena di kamar kecil sekolahnya ini, ia jelas tidak dapat menghindar dari kekerasan yang akan diterimanya.

Blair mengambil satu langkah mendekat dan menepuk pipi Arabella, tidak sakit namun cukup keras sehingga wajahnya tertoleh ke kanan.

"Kau pikir kami ingin mendengar penolakan?" tanya Blair sambil mencengkram kedua pipinya dengan kasar.

Arabella ingin menanggapi namun memilih untuk diam. Dan meskipun diam mungkin adalah tindakan yang lebih bijaksana namun sepertinya bagi kedua orang dihadapannya, diam justru terdengar seperti sebuah tantangan.

Dengan kesal Blair menampik wajah Arabella dan mendorongnya kasar, membuat pundak kirinya terantuk pinggiran westafel saat terjatuh. Arabella meringis karena sakit yang dirasakannya, dan belum hilang rasa sakit dipundaknya, sebuah tendangan kecil dari Blair mendarat di tulang keringnya.

"Cukup, Blair." Kimmy menahannya. "Tidak perlu membuang waktu kita untuknya."

Arabella bersyukur saat Blair melangkah mundur, namun hanya untuk sesaat karena rasa sakit di tulang keringnya berpindah ke rasa perih di kulit kepalanya. Setelah menjambak rambutnya, Blair baru benar-benar mundur dan melepaskannya—atau ia harap gadis itu benar-benar melakukannya. Ia memperhatikan dalam diam saat Kimmy mendekatinya dan dengan kasar meraih tas selempangnya. Dengan sekali hentak, gadis itu membuka tas Arabella untuk mengambil dompetnya.

Good Girl Gone Bad [TMS #2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang