Delapan belas - Dominic

6.7K 496 1
                                    

"Eh ada malaikat lo tuh di sana!" Seru Ravi ketika kami hendak ke tempat parkir. Aku pun mengernyitkan dahiku dan pandanganku menatap ke depan gerbang sekolah. Tampak Julita sedang ingin menyeberang.

Sepertinya cewek itu kesusahan karena kakinya yang lebam.

Dan itu terjadi semua karenaku.

Dan entah ada angin gila apa aku ingin sekali menolongnya. Tiba-tiba aku merasa iba padanya.

Eitt.. Tunggu dulu kalian jangan salah kira. Aku cuman takut dia kenapa-kenapa aja. Kalau sampai dia kenapa-kenapa, bisa-bisa aku pula yang di salahkan.

"Woi melamun aja lo!" Tiba-tiba Ravi meneleyor kepala sehingga membuatku hampir terjatuh. Tapi aku langsung terkesiap dan menatapnya dengan tatapan membunuh.

"Udah ah, gue cabut duluan ya. Soalnya gebetan gue udah nunggu!" Teman kampretku yang satu itu melesat pergi meninggalkanku begitu saja.

Emang begitulah kalau orang sudah kasmaran. Bakalan lupa semuanya. Serasa dunia ini hanya milik mereka berdua. Tapi ketika udah di tinggalin, baru cari teman.

Memang sudah begitu hukum alamnya.

Aku pun akhirnya dengan ragu-ragu menghampiri Julita yang sedang hendak menyeberang seperti orang begok di pinggir jalan.

Kasihan juga dia kalau di perhatikan.

"Sampai mati pun lo nggak akan bisa nyeberang kalau diem terus kayak gitu." Suaraku terdengar begitu menyebalkan.

Cewek itu pun segera berbalik dan matanya melebar sebentar.

Kayak liat hantu aja. Gue manusia tau!

Cewek itu memutar kedua bola matanya, "bukan urusan lo." Jawabnya dengan dingin.

Tiga kata itu begitu menohokku. Membuatku tersinggung. Ternyata cewek ini ketus juga.

"Udah pulang sama gue aja." Aku berkata dengan spontan dan tanpa di pikir dulu. Bodohnya aku!

Pasti dia bakalan kege-eran.

Tanpa menunggu dia membuka mulut, aku segera menariknya menuju mobilku.

Lebih baik sekarang aku mengantarnya pulang dan selesai perkara!

"Apa-apaan sih lo main tarik-tarik?!" Nadanya naik satu oktaf ketika aku sudah menginjak pedal gas dan mobilku melaju pada jalanan kota Jakarta yang padat dan ramai.

Aku pun berdecak dan meliriknya dengan sedikit salah tingkah. Entah kenapa aku jadi gugup begini.

"Lo nggak usah mikir yang macem-macem dan nggak usah kege-eran. Gue nganterin lo pulang cuman buat permintaan maaf aja."

Cewek itu mendesah dan memutar kedua bola matanya.

Matanya yang berwarna hitam pekat itu... Ahh.. Aku hampir saja gila, karena jantungku berdetak dua kali lebih cepat.

Aih, mungkin aku memamg sudah gila.

"Loh, bukannya tadi lo udah minta maaf?"

Aku terperangah sebentar. Ada ya aku minta maaf? Oh iya, tadi sewaktu di ruang UKS ya.

"Ya.. Emm.." Aku menggaruk kepalaku yang terasa tak gatal. "Gue itu orangnya tanggung jawab. Kaki lo gitu kan karena gue."

Cewek itu malah tertawa sebentar. Gila ya dia? Apa sih yang lucu?

"Kayaknya seharusnya ini buat ucapan terima kasih karena gue udah nyelamatin lo tadi." Ucapnya.

Oh iya ya, aku belum bilang terima kasih padanya.

"Lo kenapa harus nolongin gue sih tadi?" Aku bertanya dengan penasaran.

Dari sekian banyak orang, kenapa harus dia yang nolongin aku?

"Emm.." Cewek itu merapikan rambutnya. "Ya gue spontan aja."

"Spontan?" Tanyaku lagi.

Dia berdeham sebentar sebelum membuka mulut, "iya, kita itu kan makhluk sosial. Harus saling tolong menolong. Itu prinsip hidup gue."

Jawabannya membuatku terperangah lagi. Prinsip hidup apa itu?

Bagiku prinsip hidupku itu adalah tidak mau tau dengan urusan lain. Karena menurut aku urusan sendiri saja belum tentu bisa di selesaikan.

Dengan tak sadar aku pun tertawa, "sok baik lo jadi orang."

Cewek itu pun dengan spontan melototkan matanya. "Apa lo bilang? Udah di tolongin bukannya bersyukur."

Aku pun terkejut melihat reaksinya. Apa aku salah ngomong ya tadi?

"Pantes aja banyak yang bilang kalo lo itu kayak nggak punya hati terus egois. Udah ah, turunin gue di situ aja." Cewek itu menunjuk tempat tunggu di pinggir jalan sana yang ada di perempatan jalan.

Aku pun melongo seperti orang bodoh selama beberapa saat. Apa dia marah?

"Loh kok gitu?" Tanyaku bingung.

"Berhenti. Turunin gue sekarang juga." Julita berkata dengan tegas dan matanya membulat.

Aku pun merasa sedikit takut, dan menghentikan mobilku. Sepertinya aku sudah membuatnya tersinggung.

Pada siang itu, Julita turun dari mobilku dan memilih untuk naik angkot.

Dan pada hari itu, Dominic mulai merenung tentang hidupnya karena perkataannya Julita.

Apa dia seegois itu? Apa dia separah itu?

Dan kejadian masa lalu itu pun kembali menghantuinya. Dia yang membuat Dominic menjadi seperti ini. Membuat hati Dominic remuk dan hancur.

Sehingga kini dia menjadi seperti ini.

Egois dan sifatnya sedingin es.

---
To be continued
Thankyou for reading!

Seeyouu

Bukan Salahnya Hujan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang