Chapter 40 : Tears and Regrets

17.5K 1.2K 145
                                    

Mataku terbuka perlahan. Bayang-bayang wajah seseorang mulai terlihat walaupun masih sedikit kabur. Lama kelamaan, wajah orang itu semakin terlihat jelas. Dan saat aku sudah menyadari siapa orang itu, mataku langsung melebar.

"Ackley?"

Lelaki yang sedang duduk di kursi yang terdapat di samping tempat tidur itu hanya tersenyum. Ia membantuku bangun dan bersandar kemudian ia mengambilkanku segelas air putih.

"Minumlah dulu."

Aku mengambil gelas yang disodorkannya dan meneguknya perlahan. Hanya satu tegukan dan ku kembalikan lagi pada Ackley.

"Sejak kapan kau berada di sini?" tanyaku.

"Kemarin malam."

Jawaban Ackley membuatku mengingat sosok lelaki yang menemaniku kemarin malam sebelum aku terlelap. Segera ku edarkan pandanganku ke seluruh bagian ruangan ini. Mencari sosoknya. Tapi yang ada di ruangan ini hanyalah aku dan Ackley. Tidak ada lelaki itu.

"Dimana Zayn?" tanyaku pada Ackley yang sekarang sedang berdiri di samping tempat tidurku.

Tapi bukannya menjawab, Ackley malah terdiam. Lelaki ini menatap ke arah jam yang terdapat di dinding. Ku ikuti arah pandangannya. Keningku berkerut.

7.30


Bodoh. Aku baru ingat jika pagi ini Zayn harus berangkat ke New Zealand. Apa itu artinya...

"Zayn sudah berangkat sekitar sepuluh menit yang lalu."

Kali ini ucapan Ackley sukses membuat nafasku tercekat. Jantungku rasanya berhenti berdetak untuk sesaat. Zayn sudah berangkat. Tidak. Pesawat mereka baru akan berangkat pukul 8.05. Itu artinya aku masih mempunyai waktu. Mempunyai waktu untuk bertemu dengannya.

"Zayn menitipkan ini untukmu."

Aku memandangi selembar kertas yang berada di tangan Ackley. Tidak ada waktu lagi untuk membacanya. Ku ambil kertas itu dan menaruhnya di saku bajuku. Aku menatap Ackley dengan penuh harap, "Tolong antarkan aku ke bandara."

Seperti yang aku duga, raut wajah Ackley langsung terkejut saat mendengar ucapanku. Dengan cepat ia menggelang dan hal itu membuatku mendesah. "Jangan nekat, Gabby. Kondisimu masih lemah."

Aku tidak menyerah. Ku raih tangan Ackley dan menggenggamnya. "Ackley, aku mohon, aku hanya ingin bertemu dengan Zayn."

"Tapi Gabby, itu hanya akan..."

"Pleaseeeee. Ini kesempatan terakhirku bertemu dengannya. Setelah ini aku harus berpisah dengannya, Ackley. Aku mohon," ucapku memelas.

Ackley terlihat gusar. Ia terlihat berfikir dan kemudian ia mengangguk, "Baiklah, untuk kali ini saja."

Senyumku langsung mengembang. Dibalik sikap cueknya padaku ternyata Ackley masih mempunyai sisi baik. Ia membantuku melepaskan selang infus yang berada di tanganku kemudian memberikanku jaketnya. Ia berjongkok di depanku, membuatku bingung menatapnya.

"Kau mau cepat tidak? Naik ke punggungku."

Seakan mengerti, aku langsung naik ke atas punggung Ackley dan mengalungkan tanganku di lehernya. Dengan segera Ackley berjalan keluar dari kamar tempatku di rawat. Ia berjalan mengendap-ngendap, seperti seorang teroris yang ingin menyelundupkan bom.

Ackley berjalan menuruni tangga darurat. Ia bilang jika lewat lift terlalu berbahaya. Pasti banyak perawat yang akan memergoki kami. Untung saja kamar tempatku di rawat berada di lantai dua, jadi Ackley tidak terlalu mengeluarkan banyak tenaganya.

Sekarang aku dan Ackley sudah berada di luar rumah sakit. Ia menurunkanku dan segera memberhentikan salah satu taksi. Ackley menyuruhku masuk terlebih dulu setelah itu ia ikut masuk dan duduk di sampingku. Sepanjang perjalanan, hanya diam yang menyelimuti kami. Berulang kali aku menanyakan jam pada Ackley, dan mungkin Ackley sudah bosan mendengarnya.

Sepuluh menit berlalu, taksi yang ku naiki sudah tiba di depan Heathrow International Airport. Tanpa menunggu Ackley, aku langsung keluar dan berjalan cepat memasuki bandara. Tubuhku masih terasa lemas, jadi tidak mungkin aku berlari.

Langkah kakiku membawaku menuju gerbang keberangkatan. Untunglah bandara sedang tidak terlalu ramai, jadi aku bisa lebih mudah mencari Zayn. Masa bodoh dengan tatapan orang-orang yang mengarah padaku, mungkin mereka bingung karena aku masih menggunakan celana rumah sakit.

Sekarang aku sudah berada di ruang tunggu. Langkahku terhenti ketika melihat sosok lelaki yang aku cari sedang berdiri di luar pintu keberangkatan. Ke empat lelaki lainnya sudah berada di dalam. Tanpa ragu, aku berjalan mendekati lelaki yang sedang berkutik dengan handphonenya itu.

Tepat saat jarakku dengannya hanya tinggal dua meter, Zayn mengangkat wajahnya. Mata hazelnya kembali bertemu dengan mata biru milikku. Raut wajahnya langsung berubah kaget. Tapi aku tidak peduli. Detik selanjutnya aku langsung berhambur dalam pelukannya. Mengalungkan tanganku di lehernya. Menaruh kepalaku di pundaknya.

Bukannya membalas pelukanku, Zayn justru melepaskannya. Ia memegang kedua pipiku dan menatapku bingung, "Apa yang kau lakukan di sini, Gab? Kondismu belum terlalu membaik."

"Aku hanya ingin bertemu denganmu sebelum kau berangkat ke New Zealand."

Zayn mendesah pelan, "Tapi kondi...."

"Tolong jangan bahas kondisiku, Zayn. Aku hanya ingin bertemu denganmu," potongku cepat.

Seakan mengerti, Zayn menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Ia menaruh tangannya di pinggangku. Dapat kurasakan sesekali ia mencium puncak kepalaku. Hal yang selalu ku sukai darinya.

"Gab, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."

Suara lirih Zayn terdengar oleh telingaku. Aku hanya mengangguk dalam pelukannya.

Lagi-lagi Zayn melepaskan pelukannya. Ia kembali menatap mataku dalam. "Aku mohon, tolong jangan pernah sekalipun kau mempercayai berita yang tersebar di media. Apa pun yang diberitakan mereka, pasti semuanya hanyalah skenario yang sudah diatur. Jika kau melihat hal itu, cobalah hanya untuk mengingat satu hal, jika aku mencintaimu. Jika satu-satunya wanita yang selalu ada di fikiranku hanyalah kau. Hanya kau, Gabby."

Because Of You [ One Direction ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang